Nasi dengan sayur gulai nangka dengan campuran kol dan kadang kacang panjang. Ditambah daun singkong rebus. Disiram aneka kuah bercita rasa sedap. Tak ketinggalan sambal hijau dan merah.Â
Lauknya pilih apa pun tak akan salah. Telor dadarnya selalu menggoda. Rendangnya pasti favorit. Dendengnya menggiurkan. Ayam goreng, ayam pop, ayam sambal hijau, ayam bakar, atau ayam rendang, semua sama enaknya. Kalau suka Tunjang jangan sampai kelewatan.Â
Paling tidak itulah komposisi standar-minimalis nasi padang yang biasa disantap kebanyakan orang. Baik dibungkus atau makan di tempat, dengan komposisi tersebut sudah bisa didapatkan kelezatan masakan padang. Apalagi jika beberapa lauk disatukan, kelezatannya akan melonjak ke level mendekati maksimal. Tentu saja dompet juga perlu disiapkan lebih tebal.
Tak ada yang membantah kelezatan masakan padang. Sukar pula mengelak dari godaan mampir ke warung padang saat perut keroncongan. Hampir semua orang menyukai nasi padang.Â
Warung Padang pun makin gampang ditemui. Jumlahnya termasuk yang menggunakan gerobak dan sepeda motor, berkali lipat mengungguli minimarket berjaringan. Bahkan, di beberapa kota keberadaan warung padang mendominasi tempat serupa yang bernama warung tegal atau warteg.
Jangan kaget jika dalam seruas jalan sepanjang 2 km bisa dijumpai lima atau enam warung padang di sisi kanan dan kiri jalan. Bahkan, di beberapa kawasan di kota pelajar Yogyakarta, dalam satu area yang padat penduduk dan mahasiswa, warung padang aneka nama berdiri dalam rentang jarak yang berdekatan satu sama lain. Hebatnya, diantara warung-warung padang tersebut tidak ada yang tidak sepi. Tak heran muncul semacam guyonan yang menyebut: "mahasiswa di Jogja kalau makannya tidak ayam geprek, ya pasti naspad (nasi padang)".Â
Begitulah warung padang atau nasi padang telah menjadi santapan semua orang. Dari makanan yang mulanya identik dengan daerah tertentu, lalu menjadi semacam hidangan nasional. Selain dibanggakan orang dari daerah asalnya, nasi padang juga disukai oleh lidah orang Jawa, orang Kalimantan, orang Bali, dan seterusnya bahkan oleh lidah bule.
Namun, kenikmatan menyantap nasi padang belakangan terganggu dengan adanya razia warung padang. Ramai di media sosial hingga menjadi pemberitaan nasional, sekelompok orang merazia warung padang dan melucuti nama warungnya karena dianggap sajiannya tidak otentik masakan padang.Â
Bersamaan dengan itu mencuat soal penerapan lisensi atas warung-warung padang yang ditetapkan oleh suatu ormas. Lisensi yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat atau stiker tersebut ditempel di warung-warung padang yang dinilai memenuhi syarat otentisitas masakan padang. Dengan sendirinya warung-warung yang tidak dibubuhi sertifikat atau stiker dari ormas tersebut dianggap bukan warung padang yang otentik.
Gampang dipahami bahwa razia terhadap warung padang mencerminkan arogansi. Tidak sulit untuk menerka maksudnya bahwa para penjual boleh menggunakan nama "warung padang" hanya dan jika telah memiliki sertifikat atau lisensi dari ormas yang bersangkutan.
Meski perwakilan ormas yang juga seorang anggota DPR telah buka suara, tapi penjelasannya khas politisi yang hanya bermain dengan kata-kata. Di sisi lain, muncul seruan dari warganet di media sosial untuk memboikot atau tidak membeli di warung padang yang memajang stiker lisensi dari ormas tersebut.
Lisensi atau Pungli?
Alasan yang dikemukan oleh ormas ialah lisensi untuk warung padang bertujuan untuk memastikan otentisitas sajian yang dijual. Alasan lainnya untuk menertibkan warung-warung padang yang menjual menu lebih murah. Seperti diketahui di banyak daerah bermunculan warung-warung padang yang menawarkan paket makanan serba Rp10.000. Dengan harga tersebut pembeli bisa mendapatkan nasi padang dengan lauk ayam atau telur.
Apa pun alasannya, lisensi untuk warung padang atau nasi padang merupakan sesuatu yang mengada-ada. Sebab lisensi merupakan pemberian izin atau hak oleh pemilik paten kepada pihak tertentu untuk bisa menikmati atau menggunakan manfaat dari paten.
Sedangkan dalam undang-undang tidak dikenal paten untuk kuliner. Dengan kata lain makanan atau minuman tidak bisa dipatenkan karena termasuk hasil kreatif yang melibatkan interaksi atau percampuran budaya. Itu sebabnya tidak pernah ada paten untuk gudeg, rendang, rawon, pecel, dan sebagainya yang diberikan kepada perorangan maupun lembaga. Betapapun kuliner-kuliner tersebut sangat populer dan khas di setiap daerah, paten tidak bisa diberikan.
Lisensi oleh ormas bisa dikatakan lisensi "abal-abal". Sebab ormas tersebut tidak memiliki hak cipta atau paten apapun terhadap warung padang dan nasi padang. Dengan demikian ormas tidak memiliki wewenang dan kapasitas untuk memberikan lisensi. Apalagi melakukan razia.Â
Selain itu ada sebuah pertanyaan kritis yang perlu ditelisik. Apakah untuk setiap lembar stiker atau sertifikat lisensi tersebut pemilik usaha warung padang harus membayar sejumlah biaya tertentu? Jika ada biaya, mungkinkah "lisensi abal-abal" oleh ormas bisa dianggap sebagai pungli terselubung?
Merugikan Pemilik Usaha
Beberapa pihak menilai razia warung padang dan pemberian stiker atau sertifikati oleh ormas merupakan ekspresi kesukuan yang kebablasan. Apalagi jika disertai syarat tertentu, misalnya pemilik dan pegawai harus orang Padang.
Mengingat warung padang atau nasi padang telah menjadi semacam hidangan nasional, tindakan semacam itu justru berdampak kurang baik bagi citra warung padang yang selama ini disukai oleh masyarakat dari segala daerah dan lapisan. Pemilik usaha warung padang juga bisa dirugikan karena berpotensi kehilangan pelanggan. Seperti adanya seruan boikot yang terjadi di media sosial.Â
Beban pengeluaran pemilik usaha warung padang pun akan bertambah jika mereka dipungut biaya untuk selembar stiker atau sertifikati lisensi abal-abal. Sementara mereka pun mengeluarkan biaya untuk sertifikat halal dan ongkos-ongkos lainnya.
Tempelan Tanpa Arti
Pemberian lisensi oleh ormas dalam bentuk stiker atau sertifikat yang dipajang di warung-warung padang tertentu diklaim mencerminkan standar rasa dan sajian yang telah dinilai kualitas serta otentisitasnya. Penasaran dengan makna kualitas dan otentisitas yang dimaksud, dalam sepekan terakhir saya mencicipi nasi padang dari dua warung yang berlisensi ormas.
Sebut saja warung A dan B. Kedua warung padang tersebu berdekatan letaknya. Hanya terpisah kurang dari 1 km. Warung A memajang sertifikat lisensi ormas di bagian sudut kiri atas pada kaca depan warung. Sedangkan di warung B sertifikat ormas ditempel di sudut kanan atas pada kaca depannya.
Saya memesan pada dua hari yang berbeda. Dari kedua warung saya memilih menu yang sama, yakni nasi dengan lauk rendang sapi.
Di warung A saya mendapatkan nasi yang agak pulen, daging rendang yang agak tebal, dan sedikit sayur gulai nangka dan daun singkong rebus. Tak ketinggalan kuah dan sambal hijau. Semua itu dibungkus dengan alas daun pisang dan kertas. Sementara di warung B saya mendapatkan nasi yang lebih berderai, daging rendang yang lebih tipis, tapi dengan sayur gulai nangka dan daun singkong rebus yang lebih banyak. Sudah termasuk kuah dan sambal hijau. Semuanya dibungkus dengan kertas tanpa alas daun pisang.
Porsi dan harga nasi padang dengan lauk rendang di kedua warung tersebut tidak berbeda. Namun, soal rasa lain ternyata. Rendang dari warung A jauh lebih nikmat dibanding dari warung B. Kuah dari warung A juga memiliki rasa yang lebih kaya dibanding dari warung B yang cenderung hanya menimbulkan sensasi pedas dan menyengat.Â
Membandingkan secara sederhana nasi padang dan rendang dari kedua warung berlisensi tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa sertifikat lisensi yang dikeluarkan oleh ormas tidak dapat mencerminkan dengan jelas kualitas rasa dan otentisitas seperti yang diklaim oleh ormas. Selain sebagai tempelan di kaca warung padang, nampaknya stiker dan sertifikat semacam itu tak punya arti signifikan.
Untungnya sejauh ini tidak terdengar adanya lisensi gudeg, lisensi rawon, lisensi bakso, lisensi seblak, lisensi mendoan, dan lisensi-lisensi lainnya. Jangan sampai muncul ormas -ormas yang merasa paling mempunyai kuasa atas warisan kuliner nusantara.
Sudah sewajarnya hidangan-hidangan nikmat dari setiap daerah dirayakan dan dimuliakan bukan dengan cara-cara arogan. Bagi saya, nasi padang lebih sedap dinikmati tanpa "bumbu ormas" dan stiker tempelan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI