Praktik moderasi semacam itu sangat bermanfaat untuk membangun persepsi yang lebih baik tentang beragama dalam keberagaman.
Meski membuka pintu kelenteng, umat Konghucu tidak khawatir dicap liberal. Sebaliknya, justru memudahkan umat Konghucu untuk menghadirkan fungsi agama sebagai pembawa kemakmuran bagi sesama.
Itu bisa diamati antara lain ketika umat Konghucu mengadakan pembagian sembako bagi warga kurang mampu di sekitar kelenteng. Bisa disimak pula saat bulan Ramadan, umat Konghucu menyediakan makanan berbuka atau mempersilakan umat Islam berbuka bersama di halaman kelenteng.
Pintu kelenteng yang terbuka dan umat Konghucu yang ramah menerima "tamu" di rumah ibadah mereka sepantasnya menginspirasi kita bahwa ruang-ruang interaksi perlu dihadirkan lebih banyak sebagai strategi moderasi beragama di negara yang sangat majemuk seperti Indonesia. Tidak harus dalam forum yang formal atau seminar di dalam gedung. Perjumpaan dan obrolan santai di serambi rumah ibadah pun bisa dilakukan.
Semakin sering berjumpa, kita akan lebih saling mengenal. Saling bergantian menjadi pendengar yang baik akan membuat manusia lebih menghargai satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H