Jika masih banyak polisi yang baik, lalu di mana mereka?
Terpuruk dan tergerus. Begitulah kepercayaan masyarakat terhadap Polri saat ini.
Terungkapnya kejahatan jenderal bintang dua yang mengotaki pembunuhan ajudannya sendiri membuat pandangan publik terhadap polisi memburuk. Menurut lembaga survei Indikator Politik Indonesia, tinggal 54,4% masyarakat yang masih percaya pada Polri.
Angka itu didapat dari survei yang dilakukan selama 11-17 Agustus 2022 atau hanya beberapa hari setelah Kapolri mengumumkan Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan berencana.
Kasus Sambo memang menggerus citra polri sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Apalagi seiring kasus Sambo muncul pula kabar miring seputar bisnis haram yang melibatkan sejumlah nama penting di lingkungan polri.
Ditambah lagi mencuatnya kenakalan-kenakalan polisi lain di daerah yang terjadi akhir-akhir ini. Misalnya, kapolsek yang tertangkap sedang pesta narkoba di kantor polisi. Lalu kemarin di Lampung terungkap penembakan polisi hingga tewas yang dilakukan oleh sesama polisi yang kebetulan seorang Provos. Apakah pelaku provos ini bisa disebut sebagai "Sambo kecil?".
Entahlah. Yang jelas kenakalan Ferdy Sambo lah yang efeknya paling merusak citra Polri. Kasusnya teramat besar sehingga fokus perhatian masyarakat tersedot ke arahnya.
Padahal, ada banyak prestasi yang ditorehkan anggota polri selama ini. Banyak polisi yang profesional dalam menegakkan hukum. Banyak polisi yang mempertaruhkan nyawa melawan teroris. Banyak polisi yang berkeringat menangkap bandar narkoba dan memberantas perjudian.
Sayangnya getah yang dibuat Ferdy Sambo terlanjur berceceran. Tidak hanya melumuri para tersangka pembunuh Brigadir J, tapi juga mempengaruhi pandangan publik terhadap polisi secara umum.
Walau demikian sebagai institusi besar Polri diyakini mampu melawan "efek Sambo" tersebut. Polri tahu apa yang perlu diperbuat agar kepercayaan masyarakat tidak semakin amblas.
Meski dengan cara-cara yang terkesan agak memaksa, Polri punya pengalaman dalam mengupayakan perbaikan citra mereka. Ambil contoh, lomba mural dan orasi/demontrasi yang diselenggarakan pada Oktober dan Desember 2021 lalu.
Kedua perlombaan tersebut digulirkan Polri setelah citranya amblas gara-gara dianggap gemar membungkam kebebasan berpendapat.
Pada saat itu polisi dikritik karena suka menangkap orang-orang yang mengeluh dan mengkritik di media sosial. Aparat juga reaktif dan suka menghapus mural-mural yang berisi kritikan. Melucuti spanduk-spanduk yang memuat suara masyarakat. Bahkan, bertindak berlebihan terhadap mahasiswa yang berdemontrasi.
Pada saat hampir bersamaan polisi juga memperlihatkan respon yang kurang simpatik terhadap laporan-laporan masyarakat. Ada warga yang melaporkan kejahatan, tapi oleh polisi disuruh menangkap sendiri penjahatnya. Sementara sejumlah laporan baru ditangani setelah viral di media sosial.Â
Akibatnya bergaung di media sosial tagar #percumalaporpolisi. Polisi lalu di-bully dan dibanding-bandingkan dengan satpam bank yang dianggap lebih ramah dan responsif.
Perilaku polisi yang kurang simpatik tersebut akhirnya membuat Presiden Jokowi terganggu. Dalam sebuah kesempatan presiden menyoroti tindakan polisi yang bukan hanya memperburuk citra polri, tapi juga memberi kesan bahwa pemerintah telah membungkam suara rakyat.
Mendapat peringatan dari presiden sekaligus mendapat cibiran luas dari masyarakat, Polri menempuh cara unik. Dalam waktu singkat digelar lomba mural yang memperebutkan hadiah Kapolri.Â
Pemenangnya dipilih berdasarkan muatan yang paling kritis dan berani mengkritik polisi. Setelah itu Polri juga mengadakan lomba orasi/demontrasi dalam rangka memperingati hari HAM.
Lewat dua perlombaan tersebut terlihat jelas upaya untuk memperbaiki persepsi publik terhadap polisi yang semula kurang simpatik dan arogan, menjadi lebih aspiratif dan bersahabat dalam menerima kritik.
Hasilnya pun tidak sia-sia. Persepsi publik terhadap polisi kembali membaik. Di antara lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan KPK, Polri mendapat persepsi paling positif.
Sayangnya belum ada setahun, roda berputar 180 derajat. Kasus Ferdy Sambo kembali menempatkan Polri berada di posisi buncit dalam aspek kepercayaan publik terhadap penegak hukum. Kini tingkat kepercayaan terhadap Polri lebih rendah dibanding KPK dan Kejaksaan Agung.
Kapolri menyadari hal itu. Perintah agar kasus Ferdy Sambo diusut tuntas, cepat, dan transparan mengandung maksud salah satunya agar citra Polri tak semakin tenggelam dalam kubangan noda.
Walau demikian, proses pengusutan dan pengadilan saja belum cukup. Polri butuh cara lain untuk mempercepat pemulihan persepsi publik.
Bukan tidak mungkin Polri akan kembali mengulangi cara serupa seperti yang mereka tempuh saat menyelenggarakan lomba mural dan orasi. Tidak menutup kemungkinan seiring berjalannya proses hukum terhadap Ferdy Sambo, akan ada sayembara "Polisi Baik" memperebutkan Piala Kapolri.
Jangan heran jika tiba-tiba nanti Polri mengadakan lomba tiktok bagi masyarakat umum. Syaratnya masyarakat harus membuat dan menyebarkan konten tiktok bersama anggota polisi yang sedang bertugas. Cara ini bisa diupayakan untuk membangun kembali persepsi terhadap polisi sebagai aparat yang bersahabat.Â
Penting pula untuk mengurangi "efek Sambo" yang membuat sejumlah polisi di-bully di media sosial gara-gara dianggap sebagai "bagian dari Sambo".
Mungkin pula akan ada perlombaan foto yang menantang para warganet untuk mengunggah potret aktivitas simpatik para polisi saat bertugas.Â
Dengan cara demikian media sosial akan dibanjiri dengan konten-konten baik seputar polisi.Â
Akan ada banyak foto polisi yang membantu warga menyeberang jalan, membantu mendorong kendaraan yang macet, membantu penanganan bencana, membubarkan arena judi, membagikan nasi bungkus, mengajar baca tulis anak-anak di daerah tertinggal, merawat yatim piatu dan sebagainya.
Jangan kaget juga seandainya nanti di Kompasiana muncul blog competition "Polisi Baik di Sekitarku". Kompasianer akan ditantang untuk menulis cerita inspiratif tentang kebaikan polisi dalam kehidupan sehari-hari.
 Kompasianer diminta membagikan kisah dan pengalaman polisi-polisi inspiratif dalam mengatasi persoalan masyarakat. Kompasianer dipersilakan membagikan pengalaman positif saat mangakses layanan kepolisian.
Dengan cara-cara demikian Polri bisa berharap citranya di mata masyarakat kembali membaik. Lewat sayembara tiktok, foto dan tulisan "Polisi Baik", Polri bisa mulai menjawab pertanyaan publik: "jika benar masih banyak polisi baik, lalu ada di mana mereka?".
Jadi, apakah Kompasiana sudah dihubungi Humas Polri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H