Di sinilah sebuah masalah besar terungkap. Banyak pihak, mulai dari federasi, pengelola liga, hingga klub-klub di Indonesia merasa bahwa liga domestik sudah cukup baik. Demikian pula para suporter yang suka "overrated" dalam menilai klub kesayangannya.
Kenyataannya liga sepakbola Indonesia merupakan liga yang penuh ilusi. Saat beberapa klub terlihat tampil baik dan dianggap telah mempertontonkan permainan kualitas tinggi, itu karena ekosistem liganya yang tidak kompetitif. Sebuah klub yang kurang baik jika melawan klub lain yang lebih buruk, maka klub tersebut akan terlihat sangat baik di atas lapangan.
Ilusi juga tampak dari kualitas sejumlah pemain yang dianggap mentereng di klub, tapi ketika di timnas dan berjumpa lawan dari negara lain akan segera terlihat ketimpangan yang nyata. Ketidaktenangan pemain Indonesia dan gampangnya mereka melakukan pelanggaran konyol mengindikasikan bahwa "kematangan" yang diperlihatkan di level klub hanya ilusi. Serupa pemain yang ngotot di klub, tapi lemas dan tidak kuat mental saat berseragam timnas.
Sama halnya dengan buruknya kualitas operan dan sulitnya para pemain timnas menerapkan strategi yang telah dilatih ke dalam pertandingan sesungguhnya. Itu menunjukkan bahwa "kehebatan skill" yang sering terlihat di liga masih tergolong biasa saja saat dihadapkan dengan tim dan pemain dari negara lain.
Liga yang penuh ilusi membuat timnas Indonesia sulit meningkatkan levelnya. Sebab para pemain yang dicetak oleh liga penuh ilusi sebenarnya memiliki kelemahan yang mencolok, tapi tersamarkan oleh popularitas, pujian, dan fanatisme buta.
Kalau mau jujur, liga dan kebanyakan klub di Indonesia yang konon telah profesional sebenarnya masih berada di level semiprofesional.
Hal paling bahaya dari liga penuh ilusi ialah saat kita merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan, menganggap segalanya sudah sangat baik, tapi sebenarnya kita sudah dilampaui dan jauh tertinggal dari negara lain.
Misalnya, untuk hal yang paling dasar seperti mengumpan dan menendang pun pemain Indonesia belum mampu secara konsisten melakukannya dengan benar. Atau contoh lain yakni tidak ada jatahnya Liga Champions Asia untuk klub-klub Indonesia. Padahal negara-negara tetangga di Asean berhasil menempatkan perwakilan mereka.
Liga yang penuh ilusi membuat kita terbuai. Lalu saat menyadarinya, kita hanya memikirkan jalan pintas untuk mencapai tujuan. Yakni, mendatangkan pelatih-pelatih hebat karena dianggap akan bisa mendatangkan prestasi dengan cepat.
Padahal ibarat seorang koki, untuk bisa meracik dan menyuguhkan makanan terbaik, STY membutuhkan bahan-bahan yang bagus. Tak harus bahan premium. Asalkan kualitasnya memadai itu sudah cukup.
Dari mana semua bahan itu? Sudah pasti sang koki berharap mendapatkannya dari pasar atau supermarket yang baik pula. Atau langsung berbelanja ke kebun yang dirawat dan dikelola dengan benar.