"Setiap timnas senior menyudahi turnamen, lalu berkumpul lagi untuk melakoni pertandingan-pertandingan berikutnya, segalanya seperti kembali ke nol. Kemajuan yang sempat dibuat lenyap seiring berakhirnya pertandingan".
Mau heran, tapi ini sepakbola Indonesia.
Saat melihat amburadulnya operan pemain Indonesia, awalnya saya menganggap karena lapangan Stadion Jalak Harupat yang kurang baik.
Akan tetapi pada beberapa momen pemain Bangladesh justru mampu mengumpan lebih baik. Mengingat kedua tim bermain di lapangan yang sama, maka operan yang buruk itu pastilah tergantung siapa yang menendang bolanya.
Begitu pula saat menyaksikan buruknya lini tengah dan belakang Indonesia pada 15 menit awal babak pertama. Mungkin itu hanya demam panggung yang sifatnya sementara.
Bisa dimaklumi, sebab untuk pertama kalinya semenjak pandemi Covid-19 timnas kembali bermain di kandang dengan ditonton langsung oleh ribuan pendukung setianya. Meski jumlah penonton pada Rabu (1/6/2022) malam itu hanya 8000-an.
Namun, ternyata kondisi tersebut tak kunjung membaik dari menit ke menit. Selain bek yang canggung dan kapten yang nyaris membuat blunder, timnas juga seperti bermain tanpa gelandang.
Hanya Marc Klok yang mau sibuk menjemput bola dari bawah. Itu pun ia tak cukup mampu mengolahnya lagi. Sementara para pengisi lini tengah lainnya bermain tak tentu arah.
Memang bola beberapa kali sampai ke kotak penalti lawan. Sejumlah peluang dan ancaman pun diciptakan Timnas Indonesia.
Namun, tak jelas bagaimana para penyerang berusaha untuk mengubahnya menjadi gol. Justru gelandang seperti Lilipaly yang peluangnya lebih potensial.
Sampai satu per satu pergantian pemain dilakukan pada babak kedua, permainan Timnas Indonesia tak banyak berubah. Tidak kreatif, monoton, dan sulit dipahami gaya bermainnya. Gagal mengalirkan bola dengan lancar sehingga tak menarik untuk dinikmati. Padahal, lawannya hanya Bangladesh yang dalam lima pertandingan terakhir tak pernah menang. Bahkan, hanya mampu bermain imbang dengan Mongolia.
Sudah Mentok
Apakah artinya sepakbola Indonesia hanya selevel Mongolia? Atau permainan Timnas senior Indonesia hanya terlihat menarik dan lebih unggul jika berhadapan dengan Timor Leste?
Tentu dalam pertandingan-pertandingan terakhir Indonesia telah menang melawan beberapa negara. Paling tidak di level Asia Tenggara seperti Piala AFF dan Sea Games. Itu pun dengan syarat tidak bertemu Thailand dan Vietnam.
Dengan demikian sepakbola Indonesia masih sangat rendah levelnya. Pertandingan melawan Bangladesh kemarin memperlihatkan bahwa level permainan timnas Garuda belum berubah. Tidak perlu jauh mengukur atau membandingkannya dengan negara-negara mapan di Asia. Melawan tim "lower-middle" pun timnas masih sering sulit menang.
Pada beberapa pertandingan sebelumnya timnas sebenarnya telah menampilkan permainan yang lumayan apik. Motivasi tinggi dan penuh perlawanan terlihat dalam beberapa laga. Sayangnya, kualitas-kualitas tersebut tidak menetap lama.
Setiap timnas menyudahi turnamen, lalu berkumpul lagi untuk melakoni pertandingan-pertandingan berikutnya, segalanya seperti kembali ke nol. Kemajuan yang sempat dibuat lenyap seiring berakhirnya pertandingan.
Akibatnya Shin Tae-yong harus selalu memulai dari awal. Memotivasi kembali para anak asuhnya. Mengajari para pemain cara mengumpan yang benar, cara merebut bola yang baik, cara meningkatkan tempo, cara melakukan tackle yang aman, dan seterusnya.
Jika prosesnya terus melalui pola demikian, sudah pasti sangat melelahkan bagi seorang pelatih. Butuh waktu yang lebih lama untuk menaikkan kualitas timnas karena berbagai kelemahan dan kesalahan terus diulangi oleh para pemain. Ibarat anak sekolah, timnas belum layak naik kelas karena terlalu banyak remedial yang perlu dikerjakan lebih dulu. Meski terdapat sedikit pemain yang lebih menonjol dan memiliki bakat istimewa, secara umum kualitas Timnas Indonesia sudah mentok.
Liga Penuh Ilusi
Januari lalu usai kekalahan Timnas Indonesia atas Thailand pada final Piala AFF, Shin Tae-yong secara gamblang mengungkap faktor yang membuat level timnas Indonesia belum sebaik Thailand. Menurut STY kuncinya ada di kualitas liga yang baik.
Bukan hanya sekali STY menyampaikannya. Usai Indonesia menang lawan Timor Leste pun pelatih asal Korea Selatan tersebut ternyata kecewa dengan level permainan timnas. Ia lalu menyinggung Liga Indonesia. Seperti memperingatkan, STY menyebut bahwa timnas Indonesia tidak akan cukup kuat di level Asia Tenggara jika liganya belum berkembang menjadi lebih baik.
STY bukan hanya telah berkata benar. Ia juga mengajari kita untuk mau jujur mengakui dan mengevaluasi kekurangan Liga Indonesia.
Di sinilah sebuah masalah besar terungkap. Banyak pihak, mulai dari federasi, pengelola liga, hingga klub-klub di Indonesia merasa bahwa liga domestik sudah cukup baik. Demikian pula para suporter yang suka "overrated" dalam menilai klub kesayangannya.
Kenyataannya liga sepakbola Indonesia merupakan liga yang penuh ilusi. Saat beberapa klub terlihat tampil baik dan dianggap telah mempertontonkan permainan kualitas tinggi, itu karena ekosistem liganya yang tidak kompetitif. Sebuah klub yang kurang baik jika melawan klub lain yang lebih buruk, maka klub tersebut akan terlihat sangat baik di atas lapangan.
Ilusi juga tampak dari kualitas sejumlah pemain yang dianggap mentereng di klub, tapi ketika di timnas dan berjumpa lawan dari negara lain akan segera terlihat ketimpangan yang nyata. Ketidaktenangan pemain Indonesia dan gampangnya mereka melakukan pelanggaran konyol mengindikasikan bahwa "kematangan" yang diperlihatkan di level klub hanya ilusi. Serupa pemain yang ngotot di klub, tapi lemas dan tidak kuat mental saat berseragam timnas.
Sama halnya dengan buruknya kualitas operan dan sulitnya para pemain timnas menerapkan strategi yang telah dilatih ke dalam pertandingan sesungguhnya. Itu menunjukkan bahwa "kehebatan skill" yang sering terlihat di liga masih tergolong biasa saja saat dihadapkan dengan tim dan pemain dari negara lain.
Liga yang penuh ilusi membuat timnas Indonesia sulit meningkatkan levelnya. Sebab para pemain yang dicetak oleh liga penuh ilusi sebenarnya memiliki kelemahan yang mencolok, tapi tersamarkan oleh popularitas, pujian, dan fanatisme buta.
Kalau mau jujur, liga dan kebanyakan klub di Indonesia yang konon telah profesional sebenarnya masih berada di level semiprofesional.
Hal paling bahaya dari liga penuh ilusi ialah saat kita merasa semuanya baik-baik saja. Bahkan, menganggap segalanya sudah sangat baik, tapi sebenarnya kita sudah dilampaui dan jauh tertinggal dari negara lain.
Misalnya, untuk hal yang paling dasar seperti mengumpan dan menendang pun pemain Indonesia belum mampu secara konsisten melakukannya dengan benar. Atau contoh lain yakni tidak ada jatahnya Liga Champions Asia untuk klub-klub Indonesia. Padahal negara-negara tetangga di Asean berhasil menempatkan perwakilan mereka.
Liga yang penuh ilusi membuat kita terbuai. Lalu saat menyadarinya, kita hanya memikirkan jalan pintas untuk mencapai tujuan. Yakni, mendatangkan pelatih-pelatih hebat karena dianggap akan bisa mendatangkan prestasi dengan cepat.
Padahal ibarat seorang koki, untuk bisa meracik dan menyuguhkan makanan terbaik, STY membutuhkan bahan-bahan yang bagus. Tak harus bahan premium. Asalkan kualitasnya memadai itu sudah cukup.
Dari mana semua bahan itu? Sudah pasti sang koki berharap mendapatkannya dari pasar atau supermarket yang baik pula. Atau langsung berbelanja ke kebun yang dirawat dan dikelola dengan benar.
Sayangnya, sebagai "koki timnas" STY tidak menemukan pasar, supermarket, maupun kebun yang sesuai harapannya di Indonesia. Sehingga bahan yang didapatkannya tidak seragam mutunya. Ada yang memadai, ada pula yang sebenarnya kurang layak. Ada yang bagus, tidak sedikit pula yang kurang memenuhi kriteria.
Tantangan tersebut tidak hanya dialami oleh STY. Pelatih-pelatih timnas sebelumnya meski tidak  gamblang mengkritik, pasti menyimpan catatan khusus pada liga Indonesia dan para pemainnya.
Sementara sang koki membutuhkan waktu untuk meracik menu dan mengolah hidangan, pihak yang bertanggung jawab mengurus kebun dan memasok bahan justru abai. Pada saat itu terjadi sang koki pada dasarnya tak bisa berbuat banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H