Surat wasiat yang ditinggalkan oleh teroris milenial di Makassar dan Jakarta paling tidak memperlihatkan indikasi masuknya pemahaman radikal dalam diri mereka dimulai dari hal-hal yang ringan soal riba bank, lalu meningkat soal boleh tidaknya berhubungan dengan orang kafir, sampai puncaknya ialah tafsir tentang jihad.
Maka dari itu, tren kebangkitan beragama di kalangan milenial perlu menjadi perhatian bersama. Bukan untuk dihindari. Melainkan lebih pada kebutuhan untuk memiliki sikap mawas diri.
Disuburkan Media Sosial
Berseminya teroris milenial juga dipengaruhi kuat media sosial. Konten-konten di media sosial ibarat pupuk. Sedangkan benihnya, yakni pemikiran intoleran dan ekstrim bersemi di sela-sela kebangkitan tren beragama. Benih-benih itu dikecambahkan dan disuburkan dengan siraman konten media sosial.
Tak hanya menjadi sarana mempengaruhi dan merekrut teroris muda, media sosial juga menjadi alat untuk memutakhirkan pemikiran radikal para calon teroris. Tebaran konten secara sistematis dibuat berjenjang, mulai dari sekadar ujaran kebencian, lalu intoleran, meningkat menjadi hasutan, sampai akhirnya seruan untuk melakukan aksi.
Media sosial menjadi arena simulasi di mana pemikiran radikal diekspresikan dalam bentuk perbuatan di dunia maya. Kita bisa dengan mudah melihat bentuknya. Salah satu yang paling mencolok ialah banyaknya ungkapan dan tagar yang bernada simpati pada teroris setiap kali terjadi peristiwa teror di Indonesia.
Itu pun terjadi saat bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. Sehari setelah kejadian  teror tersebut muncul tiga tagar bermuatan konten agama dengan narasi tertentu yang mencuat di twitter.
Selama ini banyak pihak secara terang-terangan, terutama lewat media sosial, menyatakan simpatinya pada aksi teror. Di antara mereka adalah milenial. Dalam simpati yang mereka perlihatkan tampak adanya upaya untuk melakukan pembenaran terhadap tindakan teroris.
Frustasi dan Galau
Menarik pula mencermati surat tulisan tangan yang ditinggalkan pelaku teror di Mabes Polri. Dalam wasiatnya tersebut, pelaku sebenarnya tak hanya memperlihatkan pandangan dan pemahamannya tentang jihad, serta pertimbangan-pertimbangan yang mendorongnya untuk berjihad. Namun, tampak juga semacam frustasi dalam dirinya saat dihadapkan pada keinginan menemukan bahagia dan membahagiakan orang tua atau keluarganya. Di akhir surat pelaku meminta maaf karena belum bisa membalas kebaikan keluarganya.
Kegagalan menemukan solusi atas masalah kebahagiaan itu agaknya mempermudah  pengaruh doktrin tentang jihad menguasai pikirannya. Ia menyebut bahwa jihad diyakini akan bisa memberikan kemudahan bagi ia dan keluarganya untuk mendapat kebahagiaan di akhirat.
Kita bisa sedikit menebak nalar si pelaku. Bahwa ia tak bahagia dan tak bisa membahagiakan atau membalas jasa orang tua serta kakaknya di dunia. Lalu ia berpikir bahwa kebahagiaan yang lebih hakiki ialah akhirat. Kemudian dipahaminya bahwa jihad ialah cara untuk mencapai sesuatu yang hakiki itu karena jihad ialah amalan tertinggi di mata Tuhan.
Kegalauan juga terasa dalam surat wasiat si pelaku. Walau begitu yakin menguraikan soal riba, jihad, thogut, dan seterusnya, tapi terasa ada ragu dalam dirinya. Permintaan maafnya atas kesalahan berbanding terbalik dengan keyakinannya yang telah merasa benar dalam beragama.