Ada banyak lagi contohnya dan dijumpai secara luas dalam banyak rupa yang menempatkan generasi milenial di atas panggung utama. Mulai dari influencer, kepala daerah, politisi, hingga para sultan muda kini berbertebaran di Indonesia. Merekalah yang menguasai pemberitaan media, tontonan televisi, acara gosip, konten youtube , serta layar Instagram kita.
Sampai kemudian kita dibuat terhenyak dan dipaksa untuk menyadari bahwa ada milenial lain yang berbeda, yakni teroris milenial.
Mungkin ini agak berlebihan dan terkesan membesar-besarkan fenomena teroris hanya berdasarkan kejadian di Makassar dan Jakarta. Akan tetapi kalau kita mau jeli dan jujur menilai sejumlah tren yang ada, maka berseminya teroris milenial di Indonesia cukup bisa dipahami.
Kebangkitan Beragama
Berbagai faktor mempengaruhi berseminya teroris milenial. Ketika faktor-faktor itu bertemu dan bersama, hasilnya ialah bahaya seperti yang kita saksikan dalam teror di Makassar dan Jakarta.
Salah satu faktor yang penting untuk dikaji ialah tren kebangkitan beragama pada kalangan muda. Di kota-kota besar di mana komunitas milenial berlimpah ruah dan banyak dari mereka ialah pelajar, mahasiswa, serta pekerja muda, kebutuhan aktualisasi diri mulai banyak disalurkan lewat pertemuan-pertemuan agama.
Masjid-masjid di sekitar kampus semakin ramai oleh kajian-kajian yang diminati oleh mahasiswa. Undangan-undangan pertemuan dan ceramah dibagikan rutin lewat spanduk, poster, serta disebarkan dari satu teman ke teman lain. Ajakan-ajakan untuk datang ke pengajian semakin sering diterima.
Sekelompok anak muda gencar mendatangi rumah-rumah kos. Mereka mencari penghuninya untuk diceramahi soal agama. Kadang mereka berani mengetuk langsung pintu kamar dan meminta izin untuk bicara beberapa menit sambil menyampaikan undangan untuk hadir di pengajian.
Tentu kita tak boleh langsung menilai buruk fenomena seperti itu. Sebab gairah beragama semacam itu juga memberi sumbangan positif bagi moderasi beragama dan penguatan karakter generasi muda. Lagipula tren kebangkitan beragama tidak melulu dipengaruhi oleh ajakan dari pihak luar. Melainkan juga berasal dari kehendak dalam diri.
Walau demikian nyata bahwa bertemunya faktor dari dalam dan luar pada tren kebangkitan beragama telah memberi peluang berseminya pemikiran ekstrim dan radikal pada kalangan milenial.
Ketika sekelompok mahasiswa lebih antusias membahas riba bank, perayaan valentine, peringatan hari ibu, dan halal-haram demokrasi, saat itulah kecenderungan yang berbeda mulai tumbuh dalam pemikiran mereka.
Memang tidak semuanya berujung buruk, tapi juga tidak bisa dibantah bahwa seringkali pembahasan semacam itu menjadi pintu masuk untuk membicarakan hal-hal lain yang lebih berat soal kafir, thogut, hingga mengurusi dan menghakimi agama lain.