Yogyakarta masih cukup menggeliat Minggu (15/3/2020) malam itu. Dari Stasiun Tugu Yogyakarta saya beranjak menuju utara menumpang taksi online. Duduk di kursi belakang sambil mendekap tas sekadar untuk mengurangi rasa dingin.
Sopir taksi online malam itu yang bernama Eky Guswir cukup menyenangkan.Selama perjalanan ia murah bercerita meski saya hanya menimpali dengan komentar-komentar pendek.Â
Itu membuat saya yang sebenarnya sudah mengantuk kembali merasa segar dan akhirnya tertarik merespon dengan mengajukan satu dua pertanyaan.Â
"Ini sepi lho ya, biasanya Minggu nggak begini", begitu katanya menyanggah komentar saya yang sebelumnya menganggap Jogja malam itu masih cukup ramai.Â
Sebagai "orang jalanan", Eky rupanya paham betul kondisi ramai dan sepi jalanan Jogja. Apa yang saya anggap menggeliat malam itu ternyata tidak menurut pengalaman dan pengamatannya.
Sehari sebelumnya telah diumumkan adanya pasien positif Covid-19 di Yogyakarta. Hari itu juga mulai keluar seruan kepada warga Yogyakarta untuk mengurangi aktivitas dan interaksi di luar rumah.Â
Siang hingga sore harinya sejumlah perguruan tinggi serempak mengumumkan penghentian sementara aktivitas perkuliahan tatap muka di kelas.Â
Yogyakarta memang tidak mengunci daerahnya, tapi jelas bahwa semenjak hari itu kewaspadaan telah meningkat. Kampus sepi dan jalanan menjadi lebih lengang. Sejumlah tempat wisata ditutup dan pusat keramaian seperti mal mulai tak jadi pilihan untuk dikunjungi.
Kondisi demikian dirasakan Eky pertama-tama sebagai sebuah kemalangan. Pekerjaannya sebagai sopir taksi online menjadi salah satu yang paling terkena dampak akibat berhentinya sejumlah aktivitas utama warga Yogyakarta menyusul status bencana nasional Covid-19.Â
"Sekarang mahasiswa mau libur, orang-orang nggak keluar, mal sepi, matilah kita!", komentarnya penuh semangat.
Eky yang sudah sejak 2018 menjadi sopir taksi online mengatakan kalau selama ini 50% order yang diterimanya berasal dari mahasiswa atau warga kampus, baik dari maupun menuju kampus-kampus di Yogyakarta.Â
Sekitar 30% adalah masyarakat umum dan wisatawan dengan berbagai tujuan. Sedangkan sisanya dari dan menuju mal-mal.Â
Akibatnya penghasilan Eky dan rekan-rekannya sesama pengemudi taksi online menurun. "Paling bersih sekarang dapatnya seratus lima puluh ribu maksimal", katanya menyebutkan penghasilannya semenjak Covid-19 mewabah.
Selain penghasilan yang menurun, Eky juga terpaksa memperpanjang jam kerjanya agar bisa "tutup poin". Dalam kondisi normal Eky biasanya bekerja dari pukul 07.30 sampai 16.00. Dengan rentang waktu tersebut ia sudah bisa tutup poin dan segera kembali ke rumah sebelum maghrib.
Kini Eky mengaku sulit tutup poin dengan cepat. Ia harus menunggu hingga larut malam demi mencapai target jumlah order tiap harinya. Itu disebabkan karena semakin sedikit orang yang mau ke luar rumah.Â
Malam itu sekitar pukul 21.00 ketika mengantarkan saya, Eky mengaku masih akan menunggu satu order lagi agar bisa tutup poin.
Dilema juga dialaminya ketika hendak menerima order. Pada satu sisi ia membutuhkan order secepat mungkin. Namun, di sisi lain ia merasa perlu selektif menerima order.
"Sekarang kalau dapat (order) dari rumah sakit, cancel. Mau ke rumah sakit, cancel", tegasnya. Eky mengaku sedikit was-was sehingga menghindari order dari dan menuju rumah sakit.Â
Meskipun membatalkan order memiliki konsekuensi kurang baik bagi performa pengemudi, Eky memilih untuk menerima risiko itu. Apalagi di rumah ada anak dan istrinya yang juga harus dilindunginya dari kemungkinan penularan Covid-19.
Selain menghindari order dari dan menuju rumah sakit, ia juga selektif menerima penumpang dari stasiun dan bandara. Untuk sementara ia tidak mau mengantar turis asing.Â
Eky pun menceritakan kalau sore itu ia sempat menolak order dari Stasiun Tugu begitu mengetahui pemesan dan penumpangnya wisatawan asing. "Saya coba telepon. Pura-pura saja tidak bisa bahasa Inggris, terus dicancel sama dia", katanya.
Di tengah penghasilannya yang menurun dan jam kerja lebih lama, Eky juga masih harus dipusingkan dengan kewajiban lain. "Ini yang masih sewa atau kredit kendaraan pusinglah, leasing mana mau tahu", curhatnya.Â
Kami terus melaju. Sementara Yogyakarta jelas belum terlelap malam itu meski kondisinya sedang tidak biasa. Eky masih bercerita, termasuk membagikan kisah canda. Katanya kemarin ia pura-pura panik di depan istri ketika melihat anaknya pilek.Â
"Padahal pileknya karena saya yang belikan es krim, tapi nggak bilang, hahaha".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H