Keramahan orang Indonesia semakin terasa saat Idulfitri yang disebutnya sebagai pentas keramahan skala nasional. Tradisi open house dan menjamu para tamu yang dilakukan masyarakat negeri ini sangat berkesan baginya.
Orang Indonesia sangat "lentur" dalam hal waktu seolah sangat menikmati hidup. Di matanya orang Indonesia termasuk yang paling bahagia dan tabah di dunia. Padahal tidak sedikit kesulitan yang harus dihadapi.Â
Di Jakarta Yunyun Dou merasakan pengalaman dikepung banjir sampai mobilnya tidak bisa bergerak sama sekali. Ia juga pernah tertahan semalaman dalam kemacetan parah.Â
Menariknya saat membuat berita tentang kemacetan tersebut, Kedutaan Besar China di Jakarta meneleponnya dan memberi tahu bahwa kemacetan di Jakarta bukanlah berita yang istimewa.Â
Meski diupah rendah, para pekerja di Indonesia tetap bisa bekerja sesuai standar. Namun, ia juga menemukan tingginya tekanan hidup di kota metropolitan Jakarta. Ia meliput dan mengikuti seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan swalayan.Â
Wanita itu tinggal di kawasan kumuh yang didiami oleh banyak pengemis. Sore hari setelah bekerja di swalayan, wanita itu ikut mengemis demi bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.
Realitas tersebut sangat kontras dengan kebiasaan dan perilaku orang-orang kaya di Jakarta. Yunyun Dou sering menjumpai pesta pernikahan super megah bergaya Barat digelar di hotel-hotel berbintang. Ia pun bisa menandai adanya pesta pernikahan orang kaya di Jakarta melalui deretan karangan bunga dan area parkir hotel yang penuh dengan mobil-mobil mewah.
Jika Jakarta merupakan kota metropolitan yang besar, maka Surabaya bagi Yunyun Dou adalah kota modern yang terus bergerak maju dengan tingkat pendidikan warganya yang tinggi. Dibanding Jakarta, Surabaya lebih arif dalam mengembangkan kotanya.Â
Masih banyak bangunan bersejarah yang dirawat dengan baik di Surabaya. Banyak pula taman dan pepohonan yang membuat wajah Surabaya memiliki kemiripan dengan Singapura.