Asap mengepul dan aroma khas daging terpanggang menguar bersamaan dengan batok kelapa yang membara. Muasalnya dari Warung Sate Ratu yang berada di sebuah foodcourt di tepi Jalan Magelang, Yogyakarta.Â
Bangunannya seperti warung kebanyakan. Tidak terlalu besar dan sederhana. Bagian paling depan warung berupa ruangan tempat pembakaran. Memasuki bagian dalam terlihat beberapa meja dan bangku kayu memanjang mengisi ruangan. Pada setiap meja tertempel stiker hijau "Tripadvisor".Â
Sementara pada dinding terpasang sejumlah piagam dan sertifikat penghargaan. Pada bagian dinding lainnya juga terpampang ratusan foto dan testimoni dalam berbagai bahasa. Semuanya seakan mengisyaratkan bahwa warung sate yang terlihat biasa ini sebenarnya memiliki keistimewaan.
Seorang pria dengan ramah memperkenalkan namanya sebagai Budi Seputro. Ia mengenakan kaus berwarna gelap bertuliskan kata-kata yang dengan segera bisa saya ketahui sebagai caranya untuk menunjukkan salah satu keistimewaan sate di tempat itu.Â
Setelah memberikan instruksi kepada pegawai yang sedang mengipasi bara, tak berapa lama kemudian ia kembali dengan membawa apa yang disebutnya "Sate Merah".
Sate Merah
Dinamai Sate Merah karena saat dibakar atau dipanggang daging sate dilumuri dengan bumbu utama cabe merah yang sekilas seperti sambal ulek. Saat disajikan Sate Merah terkesan minimalis. Hanya potongan-potongan daging ayam berlumur bumbu merah dengan sedikit jejak gosong hasil pembakaran.
Selebihnya tidak ada pendamping apapun kecuali sepiring nasi sebagai pilihan karbohidrat teman bersantap. Tidak ada sambal kacang maupun sambal kecap yang biasanya menjadi pelengkap wajib sate pada umumnya. Pembeli pun tidak akan pernah mendapatkan kedua macam bumbu itu karena Budi memang tidak menyediakannya.Â
Ternyata benar, rasa yang muncul cukup mengejutkan karena dominan gurih dan pedas, bukan manis seperti yang biasa terlacak pada sate dengan bumbu kecap dan kacang. Rasa gurih dan pedasnya pun menyatu hingga ke dalam daging. Potongan dagingnya sendiri lebih besar dari sate-sate yang pernah saya cicipi sebelumnya. Saat digigit dagingnya yang padat cukup empuk dan lembut.Â
Disantap begitu saja tanpa nasi maupun dijadikan lauk bersama nasi, sate ini sama lezatnya. Menikmati Sate Merah adalah pengalaman mencecap sate dengan cita rasa yang baru dan original.
Budi menjelaskan kunci kelezatan Sate Merah selain pada penggunaan filet daging ayam, juga ada pada bumbu rahasia yang ia racik sendiri. Meski merahasiakannya, Budi sedikit membocorkan bahwa ada sedikit pengaruh bumbu khas Lombok dan Banjarmasin dalam racikan bumbu rahasianya. Bumbu cabe merah dan bumbu rahasia itulah yang menjadi kekuatan rasa Sate Merah.
Budi biasa membuat Lilit Basah dalam jumlah banyak sebagai persediaan dan bisa disimpan hingga 3 minggu di dalam freezer. Setiap ada pembeli yang memesan, Lilit Basah dipotong menjadi beberapa bagian berbentuk kotak untuk dikukus kembali dan selanjutnya digoreng sebentar dengan mentega.
Lilit Basah yang disajikan bersama potongan mentimun dan bawang goreng tak kalah lezat dari Sate Merah. Pertama mencecapnya seperti menikmati nuget ayam. Tapi semakin lama terasa lebih kaya pada setiap gigitannya. Cincangan daging ayam yang kasar rasanya gurih dan tidak pedas sehingga pas dinikmati sebagai kudapan tanpa nasi. Tapi kalau ingin menyantapnya bersama nasi, Lilit Basah juga bisa menjadi lauk yang istimewa.
Kebebasan
Perjalanan Budi bersama Sate Merah sebenarnya belumlah lama. Sore itu Budi yang mengaku tidak terlalu pandai memasak berkisah bagaimana ia bisa terjun ke bisnis kuliner. Semua bermula pada bulan Juli 2015 setelah ia memutuskan meninggalkan profesinya di bidang hospitality dan hiburan. Puluhan tahun menikmati kemapanan pada bidang tersebut, ia ternyata merasa bosan. Muncul keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru di mana ia bisa merasa lebih bebas dan santai.
Semangat kebebasan membuatnya memilih bidang kuliner. Sebagai permulaan Budi mendirikan "Angkringan Ratu". Di angkringan itu ia mempekerjakan sejumlah pegawai dan juru masak untuk menyediakan sendiri semua menu.Â
Maka pada 2016 ia membangun kembali usaha kulinernya dengan nama "Sate Ratu". Ia pun memilih lokasi baru dengan menempati warung di Jogja Paradise Foodcourt seperti sekarang. Sementara itu sebutan "Ratu" tetap dipertahankan menggambarkan filosofi yang ingin dibawanya lewat resep-resep makanan. Sebutan Ratu menurutnya erat dengan makna tradisional sekaligus mengandung kesan prestise. Itu selaras dengan keinginannya untuk menyajikan menu khas tradisional dengan resep, bahan, dan rasa yang premium. Sate Merah dan Lilit Basah adalah manisfestasi dari makna "Ratu" tersebut.
Melalui Sate Merah dan Lilit Basah itulah Budi merasa menemukan kebebasan. Mulai dari meracik resep, pencarian bumbu, hingga pengolahannya ia tangani sendiri bersama sang istri. Dengan demikian ia bisa lebih mudah menjaga kualitas dan rasa hidangannya.Â
Kini setiap hari Budi menghabiskan sekitar 15 kg daging ayam untuk membuat Sate Merah. Sebenarnya selain Sate Merah dan Lilit Basah ia juga memiliki resep Ceker Tugel. Namun, menu yang terakhir itu tidak bisa setiap hari ia sediakan.
Lidah 63 Negara
Meskipun Sate Merah berbeda dengan sate pada umumnya, cita rasanya ternyata diterima dan disukai oleh banyak orang. Tidak hanya oleh lidah lokal, tapi juga oleh para wisatawan. Hingga Agustus 2018 Sate Merah telah menyentuh lidah banyak wisatawan dari 63 negara yang berbeda. Sebagian kunjungan wisatawan asing itu bisa dilihat dari sejumlah foto dan testimoni yang dipajang pada dinding warung.
Banyak di antara wisatawan itu mengetahui Warung Sate Ratu dari sesama wisatawan maupun pemandu perjalanan wisata yang sebelumnya telah merasakan kelezatan Sate Merah dan Lilit Basah. Mereka yang puas juga memberikan ulasan dan menyampaikan pengalamannya. Itulah yang menjadi salah satu sebab warung ini mendapatkan Certificate of Excellence dari Tripadvisor pada 2017 dan 2018.Â
Selain sertifikat dari Trip advisor, sejumlah penghargaan dan pengakuan lain juga didapatkan oleh Warung Sate Ratu pada 2018. Di antaranya terpilih sebagai salah satu dari 95 Food Startup Indonesia oleh Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan menjadi finalis Penerus Warisan Kuliner Kecap Bango tingkat Nasional.Â
Setelah tiga tahun Budi percaya diri untuk terus menyajikan Sate Merah dan Lilit Basah. Ia pun belum berpikir untuk menghadirkan menu lain di warungnya. Spesialisasi dan kekhasan sangat penting baginya. Kalaupun ingin menambahkan pilihan menu baru, ia baru akan melakukannya sekitar dua tahun lagi. Soal persaingan bisnis kuliner yang semakin ramai di Yogyakarta ia pun menganggapnya sebagai hal yang biasa. "Kalau memang saya punya menu dan kualitas yang baik, kenapa harus khawatir?", tegasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H