2.  Penalaran Konvensional (conventional reasoning)
Tahap ini biasanya mulai terjadi pada masa anak remaja awal. Tahap ini merupakan tahap dimana individu memasuki peran sosial. Pada tahap ini anak mulai memperlakukan standar moral tertentu, standar moral tersebut ditentukan oleh orang lain, seperti orang tua, guru, dan pemerintah. Anak mencoba memiliki perilaku baik untuk memenuhi harapan masyarakat. Anak mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimiliki dirinya sendiri. Anak mulai mengevaluasi moralitas suatu tindakan pada titik ini dengan mengevaluasi akibatnya, seperti mengembangkan hubungan interpersonal yang manusiawi melalui rasa hormat, rasa terima kasih, toleransi, dan kebaikan lainnya.
- Ekspektasi interpersonal, mutual, hubungan dengan orang lain dan konformitas interpersonal
Pada tahap ini, orang menghargai kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar penilaian moral. Agar orang tua menganggap dirinya sebagai anak yang baik, anak-anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral dari orang tua mereka.
- Moralitas sistem sosial
Pada tahap ini, penilaian moral didasarkan pada pemahaman tentang ketertiban masyarakat, hukum, keadilan, dan tanggung jawab. Misalnya: Harus ada undang-undang untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak sehingga tidak ada kekerasan terhadap mereka.
3. Penalaran Pascakonvensional (postconventional reasoning)
Tahap ini mulai terjadi pada anak dewasa muda. Individu ini menyadari lintasan moral alternatif pada tahap ini, menyelidiki pilihan ini, dan kemudian membuat keputusan berdasarkan kode moral pribadi.
- Kontrak sosial dan hak individu
Pada tahap ini, orang berpikir bahwa nilai, hak, dan prinsip lebih penting atau mencakup cakupan yang lebih luas daripada hukum. Sejauh mana sistem hukum dan sosial yang ada menjamin dan menjaga hak asasi manusia dan nilai-nilai dasar manusia dapat digunakan sebagai ujian bagi evaluasi dan validasi. Lickona, T., dan Kohlber (1976) mengatakan bahwa hukum dilihat sebagai kontrak sosial daripada keputusan tegas. Keputusan yang tidak membawa bantuan pemerintah yang ramah harus diubah jika penting untuk membawa beberapa manfaat bagi beberapa individu.
- Prinsip etika universal
Seseorang telah menetapkan standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal pada tahap ini. Meskipun fakta bahwa pilihan ini membawa risiko, ketika dihadapkan dengan konflik antara hati nurani dan hukum. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan pada penalaran abstrak yang memanfaatkan prinsip-prinsip etika universal. Dalam konteks itu, hukum hanya berlaku jika didasarkan pada keadilan, dan mematuhi keadilan mengharuskan melanggar hukum yang tidak adil.Kegiatan yang dilakukan adalah konsekuensi dari kesepakatan. Jadi, tindakan, dalam kata-kata Kohlberg dkk. (1983), tidak pernah menjadi sarana melainkan hasil. Seseorang bertindak sesuai dengan harapan hukum atau yang telah disepakati sebelumnya daripada untuk alasan pribadi. Kohlberg mengakui bahwa menemukan seseorang yang secara konsisten menerapkan tahap ini merupakan tantangan baginya.
Menurut Kohlberg, tahapan perkembangan moral seorang anak berlangsung dalam urutan yang logis dan sesuai dengan usianya. Ketika dihadapkan pada keputusan moral, sebagian besar anak menggunakan penalaran prakonvensional tahap 1 pada usia sembilan tahun. nalar dengan cara yang lebih konvensional saat mereka mendekati masa remaja awal. Mayoritas remaja bernalar pada tahap 3, dengan tanda-tanda tahap 2 dan 4 dalam beberapa kasus. Ketika mereka memasuki masa dewasa muda, individu-individu tertentu bernalar dengan cara pascakonvensional.
Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Anak
Anak akan mampu berperilaku sopan dan santun kepada siapa saja, menghormati orang lain yang lebih tua darinya, menaati peraturan, sabar, jujur, dan mau menghargai orang lain jika ditanamkan nilai-nilai moral yang mapan sejak usia dini.