Masa itu, Ucapan “Kafir” sulit dijumpai kecuali pihak-pihak tertentu yang dituduh mengajarkan pengkafiran pihak lain yang belum tentu benar isu tersebut, baik terhadap non muslim maupun bagi muslim itu sendiri maka akibat yang didapat adalah kekerasan psikis (intimidasi), fisik (pembakaran) maupun administrasi berupa pembekuan atau pembubaran Ormas hingga ke jalur hukum.
Itu semua akibat dari ketegasan MUI pada zaman tersebut.
Memasuki era Pilkada/Pemilu secara langsung sejak tahun 2004 dan beberapa tahun terakhir ini, kata “Kafir” adalah sesuatu yang sudah tidak dianggap tabu lagi, dianggap biasa, bahkan dijadikan alat komoditi untuk kampanye politik.
Bagaimana reaksi MUI atas menjamurnya ucapan “Kafir” sekarang?
Kenyataannya, tidak ada reaksi sedikitpun dari MUI terhadap pihak tertentu yang mengumbar “Kafir” seperti yang terjadi selama ini :
Terakhir, pahlawan-pahlawan yang sudah gugur demi tumpah darah dengan segenap perjuangannya membela bangsa dan Negara tidak luput dari sasaran Dwi Estiningsih seorang kader PKS menyebut pahlawan kafir
Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir”
Apakah boleh mengkafirkan non muslim?
Bukankah mengkafirkan ke muslim maupun ke non muslim sama saja jika menilik HR. Ahmad No. 8493?