1. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata “Kafir” artinya adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya.
2. Kata Kafir dalam bahasa Arab berasal dari katakāfara; plural kuffār berarti orang yang menutupi, menolak sesuatu dengan yang lain atau menyembunyikan, mengingkari suatu kebenaran.
3. Kafir dalam Islam adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut manusia yang tidak mau beriman atau belum beriman (mungkin suatu saat nanti beriman). Manusia dalam artian bisa ditujukan ke non muslim dan termasuk muslim itu sendiri yang ditandai dengan sifat-sifat kemunafikannya dan dibuktikan dengan HR. Ahmad No. 8493:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” [HR. Ahmad No. 8493]
Kafir yang dimaksud diatas adalah kafir dari seorang muslim, jadi bukan non muslim kemudian dicap sebagai kafir, muslim sendiri bisa dicap sebagai kafir.
Sewaktu-waktu Kafir bisa berubah menjadi beriman, sebaliknya beriman bisa berubah kafir.
Jadi, kafir tidak hanya ditujukan ke non muslim, kafir juga bisa ditujukan ke muslim itu sendiri seperti termuat di hadist diatas tersebut.
Era tahun 2010 an ke bawah, kata “Kafir” sangat tabu sekali untuk diucapkan, era yang sulit dijumpai secara terang-terangan melakukan teriakkan atau berupa tulisan spanduk mengandung kata “Kafir”, yang terjadi justru isu atau tuduhan mengajarkan ajaran “diluar dianggap kafir” oleh pihak-pihak atau beberapa Ormas Islam tertentu yang tidak sedikit mendapat ancaman, padahal belum tentu benar adanya.
Namun, pihak yang merasa terusik dan mengundang reaksi keras adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), pihak yang memiliki otoritas fatwa keagamaan menganggap pihak-pihak atau Ormas tertentu yang diduga mengajarkan paham “diluar dianggap kafir” adalah aliran sesat.
Salah satu dari beberapa point fatwa aliran sesat yang dikeluarkan MUI adalah “Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’I”. (sumber)
Masa itu, Ucapan “Kafir” sulit dijumpai kecuali pihak-pihak tertentu yang dituduh mengajarkan pengkafiran pihak lain yang belum tentu benar isu tersebut, baik terhadap non muslim maupun bagi muslim itu sendiri maka akibat yang didapat adalah kekerasan psikis (intimidasi), fisik (pembakaran) maupun administrasi berupa pembekuan atau pembubaran Ormas hingga ke jalur hukum.
Itu semua akibat dari ketegasan MUI pada zaman tersebut.
Memasuki era Pilkada/Pemilu secara langsung sejak tahun 2004 dan beberapa tahun terakhir ini, kata “Kafir” adalah sesuatu yang sudah tidak dianggap tabu lagi, dianggap biasa, bahkan dijadikan alat komoditi untuk kampanye politik.
Bagaimana reaksi MUI atas menjamurnya ucapan “Kafir” sekarang?
Kenyataannya, tidak ada reaksi sedikitpun dari MUI terhadap pihak tertentu yang mengumbar “Kafir” seperti yang terjadi selama ini :


Terakhir, pahlawan-pahlawan yang sudah gugur demi tumpah darah dengan segenap perjuangannya membela bangsa dan Negara tidak luput dari sasaran Dwi Estiningsih seorang kader PKS menyebut pahlawan kafir


Dari ratusan pahlawan, terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir”
Apakah boleh mengkafirkan non muslim?
Bukankah mengkafirkan ke muslim maupun ke non muslim sama saja jika menilik HR. Ahmad No. 8493?
Artinya, siapapun yang dicap sebagai kafir bisa datang dari muslim sendiri apalagi non muslim.
Kata “Kafir” adalah bukan alat untuk menyerang dan diumbar dimuka umum, akan tetapi alat privasi untuk pembelajaran internal karena mengandung makna negative pada subjek yang bisa berubah sewaktu-waktu menjadi “senjata makan tuan”.
Dari Abū Hurairah, Nabi Shallallāhu alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir,’ maka sesungguhnya hal itu kembali kepada salah satu dari keduanya.” [HR Al-Bukhāri :2263/5752]
Artinya, suatu saat orang yang dikafirkan bisa beriman, sebaliknya orang yang mengkafirkan bisa menjadi kafir sehingga siapapun tidak dibenarkan berujar kafir terhadap siapapun.
Jika “Kafir” dibiarkan untuk diumbar dimuka umum maka intoleransi dan disintegrasi perlahan akan berkembang menjadi musuh antar anak bangsa. Tidak hanya ucapan “Pemimpin Kafir” atau “Pahlawan Kafir” yang muncul, mungkin kafir-kafir lain akan bermunculan.
Dimana posisi MUI sekarang yang pernah mengeluarkan fatwa sesat terhadap pihak yang mengumbar kafir?
Apakah akan berlaku adil seperti yang dilakukan zaman sebelumnya dengan mengeluarkan fatwa "aliran sesat" terhadap pihak-pihak yang mengumbar “Kafir” seperti saat sekarang ini yang sangat bebas dan terbuka?
Jika tidak ada tindakkan apapun dari MUI terhadap pihak yang suka umbar kafir, maka jangan salahkan seandainya MUI sebagai perumpamaan mengutip hadist HR. Ahmad No. 8493:
“….. di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.”
Salam Duniawi…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI