Kami melanjutkan perjalanan dengan banyak drama. Si bayi harus dipaksa diangkat dari air. Baru jalan sebentar, sudah minta digendong lagi, apalagi saat jalan menanjak. Kami memotivasinya, nanti di atas sana ada air terjun besar, bisa bermain air lagi. Cara ini cukup efektif, anak kami mau lanjut berjalan. Meski kebanyakan harus aku gendong, tas ransel dibawa istriku.
Tiga puluh menit kemudian, setelah melewati "tanjakan maut" (tanjakannya betulan curam, pinggirnya jurang), lebar jalan makin sempit, banyak tebing batu, tanda lokasi air terjun sudah dekat.
Akhirnya, sampai di air terjun! Keren!
Demikian sorakku pada anak dan istri. Meski megap-megap menggendong si bayi, akhirnya sampai juga. Bagaimana nanti pulangnya? Itu urusan nanti. Kami menikmati pemandangan air terjun yang menakjubkan. Mendengar derasnya air terjun, anak kami sempat ketakutan.
Anak kami ajak berfoto di bawah air terjun. Sebagai kenangan bahwa ia pernah menjelajah alam di air terjun di usia batita. Satu kebanggan orangtua, bisa melatih mental anak agar memiliki jiwa naturalis. Bonusnya, si anak bisa bermain air sepuasnya. Dingin, tapi segar! --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H