Si Mbah pun gusar, "Dulu, zaman Bapak jadi kondektur, tak ada semenit bisa susul menyusul!" Ya iyalah, Pak. Zaman kan berganti, ujarku. Sudah begitu, dari awal naik sampai tiba di Solo, aku berdiri (Sempat sekali duduk, kuberikan bangku untuk seorang wanita). Syukur Mbah dan istriku mendapat tempat duduk kemudian.
Botol susu ketingalan
Rintangan #2, botol susu ketinggalan. Anak batita kami masih bergantung botol susu menjelang tidur. Bagaimana kalau di tengah jalan ia mengantuk, lalu rewel, dan tidak ada botol susu? Bagaimana nanti malam kalau mau tidur? Mateng!Â
"Haruskah aku pulang dulu?" ujarku pada istri. Tak lama, bis pun datang. Walau badai menghadang... kami pergi tanpa botol susu.
Berkali-kali oper angkutan
Salatiga-Solo naik bus. Turun dari bus ke Stasiun Purwosari naik go*ar. Purwosari-Wates naik KRL (pengganti Prambanan Ekspres). Dari Stasiun Wates-Kulonprogo (tujuan akhir) naik go*ar lagi. Sesuai saran teman, kami dimudahkan membeli tiket KRL via aplikasi G* Transit. Aku pilih tujuan Stasiun Wates, ada di aplikasi. E lha dalah, realitanya hanya sampai di Jogja. Harus oper Prameks. Hmm...
Hampir dua jam menunggu prameks
Dulu, zaman istriku masih bekerja, ia beberapa kali naik Prameks. Tersedia layanan langsung jalur Solo-Wates. Nampaknya, Prameks diperuntukkan jalur di Jogja pinggiran.
Sambil menunggu, kami menyandarkan punggung di kursi tunggu yang jumlahnya terbatas. Sebagian penumpang harus berdiri karena penuh. Kami memesan dari gerai terdekat, dipilih menu gudeg dan ayam goreng. Si anak harus melepas kaos, hanya memakai kutang saking panasnya Jogja.