Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Seru dan Haru Mengajak Mbah Pertama Naik Kereta

9 Juli 2024   16:23 Diperbarui: 13 Juli 2024   15:58 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertama kali mengajak Mbah naik kereta | dokumentasi pribadi

"Dari naik bus sampai kereta berdiri terus. Menyebalkan!" gerutuku dalam hati.

***

Akhir semester ini guru-staf di tempatku cuma libur satu minggu. Cuma seminggu. Biasanya sampai dua minggu. Liburan semester ini memberi kesenangan sekaligus kemalangan. Senang, banyak waktu bisa dilewati bareng keluarga, sejenak bebas dari beban pekerjaan. Malang, sebab murid sudah libur, tidak ada pemasukan dari ngelesi.

Dua hari pertama, aku cuma pindah kerja, yakni nukang di tempat Mbah yang sedang membuat satu bangunan kecil di belakang rumah. Satu hari untuk beberes rumah. Tak terasa sudah di tengah pekan. Jika tak diusahakan (baca: dipaksa), aku takkan liburan.

Liburan kok mesti dipaksa...?

Seminggu begitu cepat berlalu. Bisa langsung habis hanya untuk bekerja. Kedua, keuangan yang minim. Meski begitu, ya harus dipaksa agar mendapat kesempatan liburan. Uangnya dari mana...?

Dengan segala keterbatasan, kami berencana akan ke Kulonprogo, Jogja. Perjalanan ini lebih menantang dibanding sebelumnya. Selain minim budget dan mengajak anak, kami mengajak Mbah naik kendaraan umum. Anak kami sudah pernah naik semua jenis transportasi dari bus, kapal, sampai pesawat.

Mbah juga pernah naik pesawat, saat pernikahanku di Medan. Kali ini, untuk pertama kalinya Mbah akan naik kereta. Rutenya cukup panjang, harus oper angkutan beberapa kali.

Lama menunggu bus

Jika bukan tantangan, perjalanan ini penuh rintangan. Rintangan #1, kami kesiangan. Target jam 6 dari rumah. Realita: jam 7. Alhasil, hampir sejam kami harus menunggu bus datang. Anak sudah senewen, minta jalan-jalan, sampai mau menyeberang jalan. 

Menunggu bus | dokumentasi pribadi
Menunggu bus | dokumentasi pribadi

Si Mbah pun gusar, "Dulu, zaman Bapak jadi kondektur, tak ada semenit bisa susul menyusul!" Ya iyalah, Pak. Zaman kan berganti, ujarku. Sudah begitu, dari awal naik sampai tiba di Solo, aku berdiri (Sempat sekali duduk, kuberikan bangku untuk seorang wanita). Syukur Mbah dan istriku mendapat tempat duduk kemudian.

Botol susu ketingalan

Rintangan #2, botol susu ketinggalan. Anak batita kami masih bergantung botol susu menjelang tidur. Bagaimana kalau di tengah jalan ia mengantuk, lalu rewel, dan tidak ada botol susu? Bagaimana nanti malam kalau mau tidur? Mateng! 

"Haruskah aku pulang dulu?" ujarku pada istri. Tak lama, bis pun datang. Walau badai menghadang... kami pergi tanpa botol susu.

Berkali-kali oper angkutan

Salatiga-Solo naik bus. Turun dari bus ke Stasiun Purwosari naik go*ar. Purwosari-Wates naik KRL (pengganti Prambanan Ekspres). Dari Stasiun Wates-Kulonprogo (tujuan akhir) naik go*ar lagi. Sesuai saran teman, kami dimudahkan membeli tiket KRL via aplikasi G* Transit. Aku pilih tujuan Stasiun Wates, ada di aplikasi. E lha dalah, realitanya hanya sampai di Jogja. Harus oper Prameks. Hmm...

Hampir dua jam menunggu prameks

Dulu, zaman istriku masih bekerja, ia beberapa kali naik Prameks. Tersedia layanan langsung jalur Solo-Wates. Nampaknya, Prameks diperuntukkan jalur di Jogja pinggiran.

Sambil menunggu, kami menyandarkan punggung di kursi tunggu yang jumlahnya terbatas. Sebagian penumpang harus berdiri karena penuh. Kami memesan dari gerai terdekat, dipilih menu gudeg dan ayam goreng. Si anak harus melepas kaos, hanya memakai kutang saking panasnya Jogja.

Olah raga tangan di dalam KRL | dokumentasi pribadi
Olah raga tangan di dalam KRL | dokumentasi pribadi

Menjelang keberangkatan, kami berlari tertatih menuju kereta. Sudah berat banyak bawaan, dilengkapi omelan istri, "Kan udah kubilang, tadi langsung masuk ke tempat keberangkatan. Tuh, penuh keretanya!" Alamaaakk...

Alhasil, kami berdiri sampai Stasiun Wates. Syukurnya, selama perjalanan kereta ini petugasnya rajin mengecek di dalam gerbong, memastikan anak-anak, perempuan, dan lansia mendapat prioritas tempat duduk. Mbah, istri dan anakku menjadi prioritas.

Seru dan haru mengajak Mbah naik kereta

Dari segi adrenalin dan risiko, perjalanan dengan kereta tidak ada apa-apanya dibanding pesawat. Tapi sistem tempat duduk di KRL dan jarak yang panjang membuat perjalanan ini melelahkan dan membuat haru. Si Mbah yang sudah tua punggungnya harus berdiri dan berjejalan di dalam angkutan.

Namun juga seru, karena pengalaman pertama ini bakal berkesan bagi Mbah. Pertama kali naik kereta, tapi harus berdiri sepanjang jalan. Inilah pengalaman berharga bisa berpetualang bersama anak-cucu. Jeda sebentar dari rutinitas harian yang melelahkan dan menjemukan.

Lebih menghargai pasangan

Perjalanan kali ini bukan piknik ke pantai atau tempat wisata, melainkan mengunjungi teman. Ialah Ibu Piah, dulu rekan kerja istriku--produsen gula semut--saat masih bekerja. Bagiku dan istri, sudah sering kami mengunjunginya. Bagi kami dan anak, ini kali kedua. Terakhir ke sini motoran, anak belum setahun.

Di teras rumah Bu Piah | dokumentasi pribadi
Di teras rumah Bu Piah | dokumentasi pribadi

Kami tiba sekitar jam 3 sore. Setelah memberi salam dan berkenalan, kami duduk sejenak. Bu Piah sudah menunggu sejak pagi. Seperti biasa, ia menjamu tamunya dengan wedang jahe hangat.

Kami putuskan menginap karena tidak mungkin langsung balik. Badan lelah, hari sudah gelap. Setidaknya kami akan menemani Bu Piah dua hari ini. Banyak cerita kami bagikan dengan Bu Piah, seputar kesibukan sehari-hari, relasi dengan orang di sekitar, maupun pelayanan.

Dalam momen makan malam, aku mendapat satu mutiara, Bersyukurlah kita yang dikaruniakan pasangan. Ada teman untuk bercerita setiap hari, dalam kondisi mudah maupun susah. Mutiara ini yang aku bagikan pada Bapak dan Ibu. Sudah tua, kiranya tidak bertengkar melulu, tapi mensyukuri pasangan yang Tuhan anugerahkan.

Di tepi Waduk Sermo | dokumentasi pribadi
Di tepi Waduk Sermo | dokumentasi pribadi

Akhirnya dapat kursi di kereta | dokumentasi pribadi
Akhirnya dapat kursi di kereta | dokumentasi pribadi

Esoknya, kami berangkat pagi-pagi menuju stasiun diantar tetangga Bu Piah. Biar afdol, mampir dulu menengok Waduk Sermo yang terkenal di Kulonprogo. Syukurnya, dari Wates kami mendapat tempat duduk sampai Solo Balapan. --KRAISWAN

Stasiun Wates, saksi perjumpaan dan perpisahan | dokumentasi pribadi
Stasiun Wates, saksi perjumpaan dan perpisahan | dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun