Muluskah jualan kami? Tidak juga.
Kami lupa survei gedung pestanya di Google. Ternyata di pinggir jalan jalur Pantura, daerah Mangkang. Tempat parkir penuh mobil, bahkan sampai di tepi jalan. Di mana kami mau melapak? Mateng…
Setelah memberi salam, mengobrol dengan keluarga pengantin, berfoto, dan menikmati makan kami keluar gedung mencari cara. Tidak mungkin kami bawa pulang durian. Masa semua duriannya dibalikin? Eman juga sewa mobilnya.
Dengan semangat Sumpah Pemuda, kami memberanikan diri melobi pada petugas parkir. Pas, di pinggir gerbang masuk ada mobil parkir dan akan keluar. Semesta mendukung. Akhirnya kami diizinkan melapak di situ. Tiap ada mobil keluar, “Duriannya tulang, nantulang!” Ada yang langsung lewat, sekedar bertanya harga, namun ada juga yang berhenti dan membeli.
Hampir dua jam melapak, beberapa buah sudah terbeli. Tapi dagangan masih banyak. Setelah parkiran sepi, kami kembali melobi juru parkir, apakah boleh membawa mobil masuk. “Boleh, Mas!” Asik.
Kami pindah persis di depan gedung. Di sini lebih strategis, walau durian tidak langsung habis. Menjelang jam 6 petang, makin banyak keluarga yang hendak pulang, mereka pun memborong. Mantab! Meski emak-emak itu selalu membandingkan dengan harga durian di kampung Sumatra.
Durian kami masih sisa, tapi lebih baik. Dari sekitar 50 buah yang kami bawa, hanya tersisa sekitar 7 buah. Sebagai pemula, ini adalah keren. Untung atau rugi, minimal balik modal dan bisa bayar sewa mobil. Dari jajan durian saat pacaran, bisa jualan saat menikah. –KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H