Pakde dan Bude (Mbah, sebutan anak kami) punya durian. Beberapa teman kami pecinta durian. Kami punya HP dan koneksi internet. Jadilah kami berbisnis durian. Meski masih kelas teri, kami belajar.
Modal kami adalah kepercayaan. Kami bawa durian dari Pakde dan Bude untuk dijualkan. Kadang ada tetangga pulang dari ladang membawa duren, menawarkan pada Ibuku, lalu meneruskan pada kami. Setelah laku, barulah kami bayar.
Apakah lancar? Tidak. Beberapa durian yang sudah dibeli pelanggan, ada bagian yang busuk atau berulat. Di balik kulitnya yang tajam berduri, ternyata dalamnya busuk. Ini enaknya kalau barangnya dari kerabat. Kami beri jaminan, diganti bagian yang busuk. Tidak 100% sama barangnya, tapi setidaknya ada pengganti.
Kendala lainnya, sepupu bilang durian yang ini enak. Kulitnya meyakinkan, aromanya wangi. Setelah dibuka dan diicip ternyata rasanya hambar. Pelanggan ngomel-ngomel, “Masa durian kayak gini? Aku sudah sering beli durian…” Ya sabar. Kami kan tidak bisa mengendalikan rasa durian.
Suatu hari, saat sedang BAB istri mendapat cahaya terang di atas kepalanya. Dia keluar dari kamar mandi dengan semangat penuh. “Papa, besok kita jualan di pesta ya!” Loh, gak bahaya tah?
Hari Sabtu akan ada pesta pernikahan kerabat marga Naibaho di Semarang. Umumnya orang Batak suka durian.
Aku dan istri mengumpulkan durian dari Mbah dan tetangga di kampung. Adik ipar akan menyetir mobil untuk mengantar kami dan membawa durian. Sudah seperti tauke begitulah gayanya. Di kampung Sumatra, Adik ipar sudah biasa berjualan sayur panenan Bapak saat ada pesta pernikahan. Hampir selalu, dagangannya ludes.
Kini, di Jawa dalam kesempatan serupa, barang dagangannya durian. Sepanjang perjalanan dari Salatiga mobil kami dipenuhi parfum durian dari bagasi mobil. Istriku yang pecinta durian pun bisa pusing dibuatnya. Maka kaca mobil kami buka.