Dalam dunia fotografi, efek cahaya yang ditimbulkan flare (berkilauan, bercorak atau bintik-bitin) justru dapat mengganggu kualitas foto. Namun, beberapa fotografer secara kreatif menggunakannya untuk membuat efek tertentu.
Dalam industri minyak dan gas, flare digunakan untuk membakar gas berbahaya atau beracun yang mungkin terlepas ke atmosfer, serta mengatasi tekanan berlebihan dalam sistem produksi.
Sedang dalam dunia militer, flare adalah amunisi yang dirancang untuk menghasilkan cahaya terang dan memancarkan panas saat ditembakkan. Ini sebagai sinyal darurat atau untuk penerangan dalam kondisi tertentu.
Dari prewed memakai flare di Bromo saat musim kemarau ini kita bisa belajar tiga hal, agar tidak berujung memalukan.
1) Perhatikan musim
WO milik Andrie tidak profesional. Masuk kawasan konservasi juga tanpa surat izin. Mempresentasikan foto pada calon pengantin saat rumputnya hijau, sedang sekarang musim kemarau pasti rumputnya kering.
Calon pengantin juga payah. Foto yang ditunjukkan saat musim apa, sekarang musim apa. Kalau mau yang hijau, menikahnya saat musim penghujan saja. Atau kalau memang harus segera, ganti konsep.
Lagi pula, konsep foto yang ditawarkan bukan main noraknya. Musim kemarau, memakai baju dingin, pakai flare. Hasilnya tidak bagus sama sekali. Emangnya mau main bola, timpal netizen.
2) Belajar dari pengalaman
Khususnya bagi pihak pengelola harusnya lebih ketat. Peristiwa kebakaran yang terjadi belakangan adalah peringatan. Ini ada sesi prewed bisa kecolongan ada yang membawa flare, tapi tidak diketahui. Pengelola harus belajar dari pengalaman.
3) Boleh prewed berkesan, tapi jangan memalukan
Prewed berkesan tidak harus mahal. Sesuaikan saja budget, konsep dan tidak kalah penting keselamatan. Inginnya berkesan, sudah bayar mahal, ujungnya memalukan. Tidak hanya persiapan pernikahan yang terganggu, pengunjung yang ingin ke Bromo juga terhalang. --KRAISWAN