Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bagaimana Mengajari Anak Mematuhi Otoritas Orangtua?

8 September 2023   15:08 Diperbarui: 8 September 2023   23:30 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang tua wajib menegakkan otoritas kepada anak | foto: Shutterstock via merdeka.com

Setiap profesi punya otoritas. Polisi, menegakkan hukum di masyarakat. Guru, mengajar di sekolah. Dokter, memeriksa dan mengobati pasien. Tak ketinggalan orang tua.

Apakah orang tua termasuk jenis profesi?

Menjadi orang tua adalah panggilan sekaligus anugerah---apa pun profesinya. Apakah mengurus rumah tangga, pekerja kantoran atau pengusaha; peran sebagai orang tua tetap melekat bagi yang sudah menikah dan dikaruniai anak.

Aku dan istri mengikuti sebuah kelas parenting. Meski menjadi orang tua tidak ada sekolahnya, tapi tidak ada alasan untuk tidak belajar. Parenting yang kami ikuti berjangka panjang (hampir setahun), pertemuan sebulan sekali.

Bulan ini, topik yang dibahas adalah menghormati otoritas dan orang tua. Dasarnya jelas, anak harus tahu dan menghormati otoritas dan peran orang tua.

Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah... --Ibrani 1:3a

Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran anakNya, --Roma 8:29a

Dua ayat di atas hendak mengingatkan bahwa kita, termasuk anak-anak kita, harusnya menampilkan gambar/ wujud/ karakter Allah.

Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga. --Matius 5:16

Ayat berikutnya menjelaskan bahwa perbuatan baik sama dengan manifestasi terang dari dalam diri kita dan anak-anak yang dipancarkan kepada sekitar kita.

Orang tua wajib mendidik, mengarahkan, melatih dan mendampingi anak sampai ia dewasa (berusia 17 tahun) dan bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Jika orang tua mendidik dengan nilai yang benar, maka di masa tuanya ia tidak akan menyimpang ke jalan yang salah.

Di hari-hari ini, kita melihat anak remaja melakukan tindakan menyimpang. Tidak hanya di kalangan rakyat biasa, namun juga pejabat. Kenapa bisa begitu?

Bisa jadi karena anak tidak menghormati otoritas orang tua.

Bagaimana mau menghormati otoritas, jika orang tuanya sendiri tidak pernah menerapkan dalam pengasuhan. Penting bagi orang tua menerapkan otoritas pada anak sejak dini.

Aku dan istri menjadi orang tua dari anak laki-laki menjelang dua tahun. Anak kami bertumbuh dengan optimal di banyak aspek. Ditandai dengan makin hari makin bertambah akalnya.

Hanya dari melihat dan mendengar, si anak bayi bisa langsung menirukan bahkan melakukan improvisasi. Begitulah natur seorang anak.

Dalam hal pengasuhan, aku lebih kaku dan tegas dibanding istri. Pertama, temperamenku yang melankolis. Kedua, profesiku sebagai seorang guru. Harus disiplin.

Namun, dasarnya kami sudah satu hati terkait pengasuhan. Biarkan anak bereksplorasi dengan lingkungan, tetap diajari, dibimbing dan diajarkan disiplin. Tidak lupa, terus mengisi tangki kasih anak dengan menyediakan waktu bersama.

Di rumah kami tidak ada TV, karena kami tidak ingin anak dididik oleh TV. (Baca: tidak sanggup membeli) Untuk hiburan kami putarkan Youtube dari HP. Itu pun berjarak, bukan dipegang langsung oleh anak. Durasinya juga terbatas, tidak setiap hari.

Ada kalanya kalau main ke tempat tetangga atau rumah Mbah, anak kami menonton TV dan ikut berjoget-joget sendiri. Tak apa, tidak setiap saat menonton TV.

Ada waktu si bayi rewel tidak mau makan. Ini yang jadi dilema. Dari pada tidak masuk makanan, nanti bisa sakit, kami terpaksa membuka Youtube. Biasanya ini berhasil.

Kalau sudah dibukakan Youtube masih tidak mau makan, kami katakan padanya tidak boleh nonton Youtube di HP. Tidak selalu berhasil, karena si bayi punya senjata tangisan. (Yang mana Mbah akan meleleh dibuatnya). Usaha kami ini dalam rangka menegakkan otoritas orang tua.

Nah menjadi repot kalau kami mengajak si bayi ke tempat Mbah dan menitipkannya, sedang kami ada keperluan. Di luar pengetahuan kami, bisa saja Mbah tidak menegakkan otoritas. Asalkan si anak senang, tidak menangis; apa pun diberikan.

Berikut ini beberapa pengalaman kami menegakkan otoritas kepada anak kami, meski sering kali berlawanan dengan Mbah.

1) Sering mengucapkan kata "Jangan!"

"Jangan main ini, nanti kotor." "Jangan naik itu, jangan lari-lari, nanti jatuh." "Jangan pegang ini, nanti terluka."

Semakin sering mengucapkan "jangan", otak anak akan mengingat, lalu justru melakukan kata terakhir yang orang tua tidak harap dilakukan anak. Bahkan di tanganku dan istri, orang tuanya, si bayi beberapa kali jatuh.

Asalkan tidak melukai organ vital dan tetap dalam pengawasan, tidak apa-apa. Biarkan anak bereksplorasi dan belajar rasa sakit dari kejatuhan. Terbukti, setelah berkali-kali jatuh anak kami punya daya tahan yang hebat. Kepalanya tidak langsung membentur lantai.

Hindari kata jangan. Perintahkan secara spesifik. Misalnya, "Nak, kalau berjalan harus hati-hati, kalau jatuh nanti kakinya sakit kan?" (Sambil kupegang bagian kakinya yang pernah jatuh)

2) Memberikan makanan dan minuman tidak sehat

"Kopi bagus buat anak, supaya tidak step." Anda pernah mendengar orang tua berkata begitu?

Kebanyakan orang tua zaman dulu meyakini kopi dapat meredakan step. Padahal, memberi kopi pada anak yang step (kejang) sangat berbahaya dan harus dihindari. Belum ada bukti ilmiah tentang hal ini. (klikdokter.com)

Kalau anak sehat, masa dicekoki kopi? Justru menganggu waktu pola istirahat anak. Tidur terganggu, perkembangan emosionalnya juga terganggu.

Sebagai orang tua generasi modern, kami belajar dari banyak sumber. Kopi, teh, minuman kemasan berbahan gula, sebaiknya tidak diberikan pada anak. Gizinya minim, ya gula menumpuk pada tubuh, berisiko obesitas.

Kalau pas di tempat Mbah, anak kami diberikan kopi atau teh. Kalau tahu, kami akan menegur Mbah. "Kan cuma sedikit, anaknya juga mau kok." (Lho, kok Mbah lebih ngotot dibanding kami orang tuanya?) Meski tidak 100% bisa melarang, kami menegakkan otoritas.

3) Kata-kata "nakal", "dimarahi", "ditinggal pulang"

Atas tingkahnya yang lincah dan beragam, anaknya kami sering membuat repot Mbah. Untuk menegur anak, biasa Mbah akan mengucapkan perkataan yang dikira bisa menghentikan sang anak---berisi ancaman.

"Kalau nakal, nanti ditinggal Mama lho!" "Nanti dimarahi Bude lho!" "Kalau tidak mau diam, nanti ditinggal pulang!" Bahkan banyak lagi ungkapan kuno yang dituturkan orang tua zaman dulu. Memangnya batita mengerti 'ancaman' semacam ini?

Kami pun mengedukasi Mbah. Bukan kata-kata ancaman untuk mendidik anak. Harus dijelaskan, kenapa tidak boleh melakukan ini, harusnya bagaimana, supaya apa.

***

Otoritas bukanlah hukum. Otoritas adalah kewenangan untuk menegakkan hukum (peraturan). Orang tua harus menerapkan otoritas supaya anak bisa menghormatinya.

Dengan otoritas yang ditegakkan orang tua, harapannya anak akan bertumbuh dengan nilai-nilai yang benar sesuai tahapan usianya. Jika pertumbuhannya baik, ia bisa memancarkan kasih kepada sesama. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun