Sedemikian gereget Abraham memilihkan calon isteri bagi Ishak. Abaraham amat paham, untuk menghasilkan generasi berkualitas juga harus disiapkan bibit yang juga berkualitas. Kualitas ini direpresentasikan sebagai karakter yang takut akan Tuhan.
Dalam kisahku dan Yanti, orang tua kami memiliki pandangan masing-masing menurut adat setempat. Ayah dan ibuku (suku Jawa) menginginkan aku menikah dengan orang yang dekat rumahnya. "Kalau dekat dan sering ketemu kan sudah kenal," kata ibu.
Katanya ayahku bahkan sudah menyiapkan jodoh untukku. Entah beneran sudah ada sosoknya atau masih dalam angan, aku langsung menolak. Sebab, aku sendiri tidak yakin dengan kriteria ayahku.
Sedangkan Yanti beda lagi kasusnya. Menurut adat Batak, seharusnya Yanti menikah dengan pariban-nya (jodoh ala orang Batak). Anak perempuan adalah pariban dari laki-laki yang semarga dengan mamanya. Namanya saja adat, sudah turun-temurun dilakukan di dalam masyarakat. Pariban ini mirip dengan prinsip perjodohan, namun tidak selalu diikuti. Ada juga orang Batak yang menikah dengan orang dari etnis lain.
Yanti termasuk orang yang progresif. Dia sadar akan natur karakter dan budaya orang Batak, apalagi jika belum diubahkan hidupnya. Bisa sering terjadi konflik dalam rumah tangga. Kecuali Yanti menemukan orang Batak yang sudah hidup baru, ia mau saja menikah dengan orang tersebut.
Sedangkan banyak contoh nyata di sekitarnya, orang yang menikah dengan sesama etnis, kehidupan rumah tangganya tidak bertumbuh. Jadi kesamaan adat bukanlah patokan hidup berumah tangga. Inilah salah satu yang mendasari kisah kami yang berjudul "Beda Adat, Siapa Takut?" --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H