Adakah dari Anda yang menikah karena dijodohkan? Mungkin Anda perlu bantuan biro jodoh, mak comblang hingga mbah dukun demi menemukan jodoh? Sebagai orang yang takut akan Tuhan, daftar terakhir jangan ditempuh ya.
Jodoh takkan ke mana, kata pepatah. Betul. Tapi bukan berarti kita duduk diam menunggu dan tidak berusaha. Justru kita harus menyiapkan diri untuk menyambut maupun menemukan jodoh kita.
Di masa lalu, perjodohan menjadi momok bagi kaum hawa. Masa itu budaya patriarki masih dijunjung tinggi. Wanita tidak punya kebebasan bahkan untuk memilih siapa orang yang dicintai dan menikahinya. Belum lagi kalau kondisi perekonomian menjadi dasar. Nasib perempuanlah untuk mengangkat harkat dan martabat orang tua. Siti Nurbaya dan Kartini contohnya.
Perjodohan bisa mengandung unsur keterpaksaan jika tidak ada pertautan perasaan. Jika cinta saja tidak dirasakan, bagaimana mau membina kehidupan berumah tangga? (Lagi pula modal cinta tidak cukup buat menikah.) Yang ada dalam pernikahan terjadi pertengkaran, KDRT, perselingkuhan bahkan (amit-amit) bercerai.
Seorang perempuan, sebut saja Surti, adalah salah satu yang terlibat dalam perjodohan. Ada kerabatnya yang mengenalkan padanya seorang lelaki pekerja keras. Sayangnya, lelaki ini duda, baru saja menikah langsung ditinggal pergi, entah alasannya apa.
Disebabkan buta huruf, dan adik-adiknya perempuan juga harus segera menikah, Surti tak kuasa untuk menolak. (Zaman dulu, kalau menikah harus urut dari anak yang paling tua.) Apakah pernikahannya bahagia? Tidak selalu. Meski sudah dikaruniai dua anak, lelaki dan perempuan, kehidupannya berlangsung penuh drama.
Mau bagaimana, ternyata karakter suaminya penuh luka masa lalu. Dalam kasus ini Surti tidak sempat menjalin relasi pacaran. Dikenalkan, langsung menikah. Betapa bahayanya membeli kucing dalam karung. Sedangkan dalam keyakinannya, kalau sudah menikah tidak boleh bercerai, apapun alasannya.
Namun, ribuan tahun yang lalu ternyata ada 'pelangi' di balik perjodohan. Bedanya, perjodohan ini melibatkan pembuatan kriteria yang jelas dan terukur. Model perjodohan seperti ini yang harusnya diikuti. Bisa dijadikan standar maupun rekomendasi bagi orang tua yang menginginkan anaknya memiliki pasangan hidup yang sepadan. Bukan perihal harta/ warisan, apalagi yang seadanya.
Siapa yang tidak kenal Ribka, menantu Abraham yang kelak menjadi nenek moyang bangsa yang besar di bumi, bangsa Israel. Abraham menginginkan calon menantu yang mengenal dan takut akan Tuhan. Sosok tersebut tidak ditemukan di Kanaan, tempat Abraham mengembara sebagai orang asing.
Orang-orang Kanaan menyembah berhala, melakukan banyak dosa dan tidak mengenal Tuhan. Abraham memerintahkan hamba yang paling tua, penguasa segala kepunyaanya, untuk mencarikan jodoh untuk anaknya dari sanak saudaranya di Aram-Mesopotamia.
Sedemikian gereget Abraham memilihkan calon isteri bagi Ishak. Abaraham amat paham, untuk menghasilkan generasi berkualitas juga harus disiapkan bibit yang juga berkualitas. Kualitas ini direpresentasikan sebagai karakter yang takut akan Tuhan.
Dalam kisahku dan Yanti, orang tua kami memiliki pandangan masing-masing menurut adat setempat. Ayah dan ibuku (suku Jawa) menginginkan aku menikah dengan orang yang dekat rumahnya. "Kalau dekat dan sering ketemu kan sudah kenal," kata ibu.
Katanya ayahku bahkan sudah menyiapkan jodoh untukku. Entah beneran sudah ada sosoknya atau masih dalam angan, aku langsung menolak. Sebab, aku sendiri tidak yakin dengan kriteria ayahku.
Sedangkan Yanti beda lagi kasusnya. Menurut adat Batak, seharusnya Yanti menikah dengan pariban-nya (jodoh ala orang Batak). Anak perempuan adalah pariban dari laki-laki yang semarga dengan mamanya. Namanya saja adat, sudah turun-temurun dilakukan di dalam masyarakat. Pariban ini mirip dengan prinsip perjodohan, namun tidak selalu diikuti. Ada juga orang Batak yang menikah dengan orang dari etnis lain.
Yanti termasuk orang yang progresif. Dia sadar akan natur karakter dan budaya orang Batak, apalagi jika belum diubahkan hidupnya. Bisa sering terjadi konflik dalam rumah tangga. Kecuali Yanti menemukan orang Batak yang sudah hidup baru, ia mau saja menikah dengan orang tersebut.
Sedangkan banyak contoh nyata di sekitarnya, orang yang menikah dengan sesama etnis, kehidupan rumah tangganya tidak bertumbuh. Jadi kesamaan adat bukanlah patokan hidup berumah tangga. Inilah salah satu yang mendasari kisah kami yang berjudul "Beda Adat, Siapa Takut?" --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H