Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #15

31 Desember 2022   13:19 Diperbarui: 31 Desember 2022   13:25 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan motor bebek 110 cc kembali ke Salatiga | dokumentasi pribadi

Pekerjaan di Surabaya membuat Kris percaya diri dalam hal finansial maupun jejaring. Dengan gaji yang diterima tiap bulan, memudahkanku merencanakan bertemu Yanti saat liburan atau di jadwal yang kami sepakati. Namun, apa jadinya jika Kris ditarik kembali ke "kandang yang sempit"?

Dalam tahun keduaku sebagai guru SMP, aku dipanggil untuk melayani di salah satu Pusat Pengembangan Anak (PPA) Salatiga di gerejaku, Yayasan Compassion Indonesia, sebagai koordinator. Yayasan Compassion bermitra dengan gereja lokal. Yayasan ini menyalurkan dana dari para sponsor di luar negeri untuk diberikan pada anak-anak yang keluarganya lemah secara perekonomian di banyak negara, salah satunya Indonesia.

Uniknya, sponsor di yayasan ini tidak semua keluarga berada/ miliarder. Ada juga perorangan bahkan anak-anak yang memang punya hati untuk memberi yang menjadi sponsor. Hanya mereka yang hatinya sudah disentuh Tuhan yang bisa menyisihkan rezekinya untuk orang lain, tak soal berkelimpahan atau sederhana.

Kondisi di PPA gerejaku saat itu sangat genting dan rumit. Pendeta yang menjabat saat itu sedang dalam transisi untuk pindah pelayanan di gereja lain. Lalu koordinator yang menjabat saat itu mendadak mengundurkan diri karena ada kepentingan pribadi. Jika tidak segera didapatkan koordinator pengganti, PPA akan diakhiri kemitraannya. Selain itu, masih banyak permasalahan yang terjadi di PPA.

So what?

Jika PPA diakhiri kemitraannya, bukan aku yang harus bertanggung jawab. Aku tidak melakukan tindakan apa pun yang merugikan lembaga PPA, yang membuatnya terancam ditutup.

Omong-omong, aku adalah salah satu anak (disebut menti) yang mengikuti program PPA. Aku diberkati dalam banyak hal melalui PPA. Aku menyelesaikan program sebagai menti sampai completion (mencapai usia maksimal) dan melakukan setiap kewajiban sebagaimana seharusnya. Jadi dalam hal ini aku tidak punya ikatan apa pun dengan PPA.

Yang membuatku jengkel adalah rekan pelayananku yang terakhir menjadi koordinator yang akan kugantikan. Dia cabut dari PPA demi mengejar hal yang lebih besar dengan menyisakan banyak masalah.

Tapi, kenapa aku yang dipanggil untuk menjadi koordinator? Pengalaman, minim. Usia, masih muda. Jiwa kepemimpinan, masih amatir. Katanya, aku dipercaya memiliki kapabilitas untuk menjabat sebagai koordinator. Jangan membayangkan seperti kondisi di perusahaan besar. Ini lembaga pelayanan, jadi meski jabatannya koordinator upahnya minim.

Dalam kondisi ini mental dan imanku diuji. Aku baru saja menikmati karir sebagai guru di Surabaya. Hendak menabung untuk mempersiapkan pernikahan kelak. Tapi nuraniku lalu diketuk dengan 200-an anak menti yang dinaungi PPA.

Bertahun lalu aku di posisi mereka. Aku bisa berdiri hingga sekarang salah satunya juga peran para mentor yang mendidik dan membimbingku. Kalau sampai PPA ditutup, bagaimana nasib anak-anak itu?

Sebagai salah satu alumni PPA, aku merasa terbeban. Apa yang harus Kris lakukan? Sedangkan aku masih terikat kontrak dengan sekolah dan masih di tengah-tengah semester pembelajaran. Kris terjebak makan buah simalakama. Apakah harus menjawab panggilan ini, atau mempertahankan pekerjaan di Surabaya. Semuanya memiliki konsekuensi. Sulit untuk mengambil keputusan.

Bagaimana pun, Kris telah banyak diberkati melalui PPA. Ratusan anak-anak itu butuh dukungan dari para sponsor untuk mengawal pertumbuhan mereka, tak hanya jasmani, tapi juga spiritual dan sosio-emosi. Lagi pula PPA menginduk kepada gereja, sudah menjadi second home bagi mereka (termasuk aku). Aku tidak tega membiarkan mereka kehilangan rumah.

Oleh pengurus gereja saat itu, aku diminta untuk menggumulkan panggilan ini. Hanya diberi waktu seminggu, terlalu singkat untukku, dan aku harus segera mengambil keputusan. Supaya jika aku menolak panggilan ini, mereka bisa mencari orang lain.

Dalam seminggu itu, aku berjuang dalam doa dan puasa. Aku juga menceritakan pergumulan ini pada Yanti, meski masih berdoa bersama, Oktober 2017. Aku tidak ingin merahasiakan apa pun dengan Yanti. Jika aku terima panggilan ini, maka penghasilanku akan berkurang. Maka tabungan untuk persiapan pernikahan juga makin berkurang.

Seperti Anda tahu, sinamot (seperti mahar yang harus diberikan pihak laki-laki jika ingin meminang perempuan) orang Batak sangat mahal. Syukurnya, Yanti adalah wanita yang dewasa dan takut akan Tuhan. "Apapun keputusanmu, jika itu sesuai dengan pimpinan dan kehendak Tuhan, aku akan selalu mendukung," kata Yanti. Wah... siapa yang tidak bahagia mendapat calon kekasih seperti ini!

Dari hasil pergumulanku, aku lebih condong untuk kembali ke PPA di Salatiga. Aku berusaha mengomunikasikan pada Mam Linda, sang kepala sekolah. Ibu tiga anak ini---yang sejak awal interview sudah memberi kesan ramah---berusaha menahan Kris. Karena tindakanku berdampak pada jadwal guru-guru lain yang harus mengisi jadwal Kris sementara belum mendapat guru pengganti.

Dan lagi, kontrak kerjaku memiliki kekuatan hukum, jika aku melanggar bisa dikenakan pinalti. Syukurnya, pihak gereja akan membayarkan pinalti ini untukku. Dalam sudut pandang yayasan sekolah, Kris mengkhianati kepercayaan mereka. Jujur, berat hati rasanya untuk meninggalkan sekolah ini. Kris mengasihi murid-murid, rekan-rekan kerjanya juga sangat ramah. Jika ini memang panggilan Tuhan untukku, aku akan belajar taat.

Setelah semua tanggung jawab administrasi kepada yayasan sekolah beres, Kris segera berpamitan dengan rekan guru, murid-murid serta jemaat dan rekan pelayanan di gereja Baptis Gubeng. Teman-teman gereja dan jemaat juga tidak kalah berat hati atas kepulangan Kris, meski Kris baru bergabung.

Sesak dan perih hati ini. Perpisahan lagi. Derai air mata turut mewarnai. Gereja baptis di Gubeng telah menjadi rumah Kris selama di Surabaya. Kris juga pas dipercayakan menjadi ketua di salah satu bidang persekutuan di gereja. Belum juga aku meninggalkan jejak, sudah harus kembali ke zona nyaman di kota mungil Salatiga.

Singkat cerita, Kris kembali ke Salatiga. Aku berangkat jam 5 pagi dari kos, melaju dengan motor 110 cc milik bapak. Ini perjalanan terjauh pertamaku.

Meski tinggal dan berkarya di kota sendiri, beban Kris akan sangat berat membawa "kapal" besar beranama PPA IO-801. Aku menjadi nahkoda yang harus membawa kapal iini berlayar mengarungi samudera ganas, sambil memperbaiki setiap kebocoran yang ada sampai mendarat di pelabuhan terdekat.

Positifnya, aku akan tinggal dekat dengan orang tua dan adik. Ritme kerja di kota mungil ini juga tidak sesibuk Surabaya. Bisa membantu sedikit-sedikit pekerjaan di rumah dan mengantar jemput ibu bekerja serta mengawasi perkembangan adik perempuan semata wayang.

Kekurangannya, gaji Kris hampir tiga kali lipat lebih kecil dari pada saat di Surabaya. Padahal saat itu masih ada tanggungan kredit motor. Aku juga penggila buku, bisa sebulan sekali membeli buku atau memborong saat ada bazar.

Tanda kasih yang Kris terima di PPA rasanya tidak akan cukup untuk tabungan menikah kelak. Sanggupkah aku hidup di Salatiga?

Kris dan Yanti beriman, jika Tuhan yang memanggil Kris untuk melayani di Salatiga, Tuhan juga yang akan mencukupkan kebutuhan kami, hingga kelak mempersiapkan pernikahan. Immanuel! --KRAISWAN 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun