Bertahun lalu aku di posisi mereka. Aku bisa berdiri hingga sekarang salah satunya juga peran para mentor yang mendidik dan membimbingku. Kalau sampai PPA ditutup, bagaimana nasib anak-anak itu?
Sebagai salah satu alumni PPA, aku merasa terbeban. Apa yang harus Kris lakukan? Sedangkan aku masih terikat kontrak dengan sekolah dan masih di tengah-tengah semester pembelajaran. Kris terjebak makan buah simalakama. Apakah harus menjawab panggilan ini, atau mempertahankan pekerjaan di Surabaya. Semuanya memiliki konsekuensi. Sulit untuk mengambil keputusan.
Bagaimana pun, Kris telah banyak diberkati melalui PPA. Ratusan anak-anak itu butuh dukungan dari para sponsor untuk mengawal pertumbuhan mereka, tak hanya jasmani, tapi juga spiritual dan sosio-emosi. Lagi pula PPA menginduk kepada gereja, sudah menjadi second home bagi mereka (termasuk aku). Aku tidak tega membiarkan mereka kehilangan rumah.
Oleh pengurus gereja saat itu, aku diminta untuk menggumulkan panggilan ini. Hanya diberi waktu seminggu, terlalu singkat untukku, dan aku harus segera mengambil keputusan. Supaya jika aku menolak panggilan ini, mereka bisa mencari orang lain.
Dalam seminggu itu, aku berjuang dalam doa dan puasa. Aku juga menceritakan pergumulan ini pada Yanti, meski masih berdoa bersama, Oktober 2017. Aku tidak ingin merahasiakan apa pun dengan Yanti. Jika aku terima panggilan ini, maka penghasilanku akan berkurang. Maka tabungan untuk persiapan pernikahan juga makin berkurang.
Seperti Anda tahu, sinamot (seperti mahar yang harus diberikan pihak laki-laki jika ingin meminang perempuan) orang Batak sangat mahal. Syukurnya, Yanti adalah wanita yang dewasa dan takut akan Tuhan. "Apapun keputusanmu, jika itu sesuai dengan pimpinan dan kehendak Tuhan, aku akan selalu mendukung," kata Yanti. Wah... siapa yang tidak bahagia mendapat calon kekasih seperti ini!
Dari hasil pergumulanku, aku lebih condong untuk kembali ke PPA di Salatiga. Aku berusaha mengomunikasikan pada Mam Linda, sang kepala sekolah. Ibu tiga anak ini---yang sejak awal interview sudah memberi kesan ramah---berusaha menahan Kris. Karena tindakanku berdampak pada jadwal guru-guru lain yang harus mengisi jadwal Kris sementara belum mendapat guru pengganti.
Dan lagi, kontrak kerjaku memiliki kekuatan hukum, jika aku melanggar bisa dikenakan pinalti. Syukurnya, pihak gereja akan membayarkan pinalti ini untukku. Dalam sudut pandang yayasan sekolah, Kris mengkhianati kepercayaan mereka. Jujur, berat hati rasanya untuk meninggalkan sekolah ini. Kris mengasihi murid-murid, rekan-rekan kerjanya juga sangat ramah. Jika ini memang panggilan Tuhan untukku, aku akan belajar taat.
Setelah semua tanggung jawab administrasi kepada yayasan sekolah beres, Kris segera berpamitan dengan rekan guru, murid-murid serta jemaat dan rekan pelayanan di gereja Baptis Gubeng. Teman-teman gereja dan jemaat juga tidak kalah berat hati atas kepulangan Kris, meski Kris baru bergabung.
Sesak dan perih hati ini. Perpisahan lagi. Derai air mata turut mewarnai. Gereja baptis di Gubeng telah menjadi rumah Kris selama di Surabaya. Kris juga pas dipercayakan menjadi ketua di salah satu bidang persekutuan di gereja. Belum juga aku meninggalkan jejak, sudah harus kembali ke zona nyaman di kota mungil Salatiga.
Singkat cerita, Kris kembali ke Salatiga. Aku berangkat jam 5 pagi dari kos, melaju dengan motor 110 cc milik bapak. Ini perjalanan terjauh pertamaku.