Suatu kali (kalau tidak salah di malam minggu) aku mengirim pesan WA pada doi. "Hai, kamu lagi apa?" Balasan doi bagai sentuhan defibrillator pada jantungku.
Katanya mau malam mingguan dengan salah satu abangnya, Orang Batak. Aku tidak sanggup melanjutkan percakapan. Aku merasa kecewa dan sakit hati. Tapi kenapa harus kecewa?
Aku tidak patah arang. Beberapa bulan kemudian aku justru makin rutin mengirimkan chat pada doi, sekedar untuk menanyakan kabar. Wah, ada angin apa nih?
Dari percakapan via WhatsApp itu aku membagikan pokok doa. Doi juga mengisahkan sepak terjangnya saat magang di kapal; membantu penelitian dosen setelah lulus; tuntutan orang tua agar segera bekerja; sampai akhirnya "terdampar" di Bogor. Entah mengapa, aku suka menyimak kisahnya.
Umumnya, setelah dikuliahkan dengan biaya mahal, seorang anak akan segera mencari pekerjaan agar mandiri finansial. Selain memenuhi keinginan orang tua, juga bisa membantu perekonomian keluarga.
Alih-alih menuruti orang tua, doi memilih jalannya sendiri. Dia tidak ingin bekerja kantoran, terikat pada jam kerja dan administrasi; menjadi wanita karir. Doi justru menggumulkan bidang pemberdayaan masyarakat (yang tentu tidak ada yang akan memberinya gaji). Tak ada korelasi dengan bidang studinya.
Oleh salah satu kakak rohaninya, doi berkesempatan "studi lanjut" melalui seorang mentor dan akan tinggal di Bogor untuk tiga bulan. Mulanya dia bersama dua temannya laki-laki mengerjakan bisnis produk masing-masing.
Dari bisnis ini keuntungannya dipakai untuk menopang pelayanan. Istilahnya sustainable bussiness (bisnis berkelanjutan). Menjadi motor bisnis ada kolam lele, beberapa angsa, ternak cacing, pengolahan daun kelor, dan beberapa sumber daya lain yang ada di kebun dekat rumah kontrakan yang cukup besar.
Baru tahun pertama dua temannya ngacir karena tidak kuat menghadapi tekanan hidup. Sudah kerja keras mengorbankan waktu, pikiran, tenaga, uang dan kesempatan berkarir; tidak menunjukkan hasil signifikan. Tidak dibayar pula.
Padahal mereka juga ingin mengejar masa depan dambaan banyak anak muda. Lagi pula manusia mana yang mau melakukan hal "sia-sia" macam itu? Barangkali sudah cukup waktu belajar mereka. Atau justru salah tempat?
Dua temannya (laki-laki) yang pergi itu masih memakai akal sehat. Sadar bahwa di Bogor itu tidak menjanjikan masa depan, mereka pergi ke tempat lain. Sedangkan doi tetap bertahan, sendirian. Ini cewek masih waras kan?, aku mencibir dalam hati.
Doi dilahirkan sebagai anak sulung. Idealnya, doi harus mendukung biaya pendidikan ketiga adiknya. Orang tuanya berprofesi petani di kampung fisiknya makin renta, tenaganya tak sekuat dulu. Hasil panen juga tidak menentu karena kondisi iklim yang tidak jelas.
Dalam keadaan itu, doi justru berontak, tidak tahu balas budi. Apa tidak kasihan dengan orang tua dan adik-adiknya? Dia mengerjakan sesuatu yang tidak memberi penghasilan, tidak sesuai harapan orang tuanya menguliahkannya.
Meski dianggap aksi pemberontakan, aku anggap pilihan doi adalah keputusan seorang yang sudah dewasa. Dia berani mengambil risiko. Dengan begitu aku tahu doi adalah wanita pekerja keras, mau belajar; lain dari umumnya. Meski waktu itu aku tidak berekspektasi terlalu jauh tentang doi.
Kurang lebih dua tahun doi di Bogor. Proses hidup yang menempanya telah membentuk karakternya makin matang. Kualitas inilah yang dibukakan padaku.
Setelah beberapa tahun berbasa-basi dalam pertemanan yang tak menentu, akhirnya "meloloskan" doi ke dalam kriteria pasangan hidupku.Â
Tak soal kalau doi berasal dari etnis Batak. (Aku tidak pernah memasukkan "etnis" dalam kriteria pasangan hidup.) Jadilah aku lebih aneh, karena tertarik pada perempuan yang aneh.
Aku mulai menikmati skenario Tuhan tentang pasangan hidup, meski masih samar-samar. Sebelum diarahkan pada doi, perjalananku cukup berliku sekedar untuk mengerucut pada satu-dua orang. Menyinggung sedikit tentang kriteria pasangan hidup.Â
Ada tiga jenis kriteria dalam memilih pasangan hidup, yakni primer, sekunder dan tersier. Seperti halnya kebutuhan dalam teori ekonomi.
Dalam kriteria primer, yang pasti kriteriaku yakni seiman, takut akan Tuhan dan dewasa. (Untuk kriteria sekunder dan tersier bisa menyesuaikan) Sambil mendoakan kriteria tersebut, aku meminta petunjuk pada Tuhan. Di mana sekiranya akan diizinkan bertemu calon PH.
Apakah di lingkungan tempat kerja, di gereja di Surabaya, di Perkantas Surabaya, di gereja Salatiga, atau justru di Perkantas Salatiga? Aku berinteraksi dengan teman-temanku secara wajar. Tuhan yang kiranya memimpin misiku.
Seiring berjalannya waktu, aku tidak mengalami progres berarti. Kenapa dari lingkungan kerja sampai tempat persekutuan/ rekan jemaat tidak ada satu pun yang nyanthol, yang memenuhi kriteria? Adakah aku atau calonku yang tidak peka? Barangkali di belahan bumi yang lain?
Dalam kegalauan, aku seperti mendapat bisikan lembut. Calon PH yang aku cari memang tidak di tempat yang aku minta sebagai tanda. Kriteria tadi justru dibukakan pada doi.Â
Tapi mana mungkin? Bagaimana mau berelasi sedang pertemuan kami hanya hitungan jari, dan kini terpisah di provinsi yang berlainan?
Aku mengupayakan terus membangun komunikasi dengan doi. Obrolan kami lebih nyambung dan menghadirkan sukacita. Aku yakin doi bukan gadis gampangan. Ada kualifikasi khusus dalam diri doi yang pas dengan kriteria Pasangan Hidupku.
Masalah berikutnya muncul. Apakah doi memiliki perasaan yang sama denganku? Bagaimana kalau bertepuk tangan (lagi)? Bagaimana kalau cuma kasmaran? Haruskah aku mengungkapkan perasaan? Siapkah aku jika ditolak lagi? --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H