Dua temannya (laki-laki) yang pergi itu masih memakai akal sehat. Sadar bahwa di Bogor itu tidak menjanjikan masa depan, mereka pergi ke tempat lain. Sedangkan doi tetap bertahan, sendirian. Ini cewek masih waras kan?, aku mencibir dalam hati.
Doi dilahirkan sebagai anak sulung. Idealnya, doi harus mendukung biaya pendidikan ketiga adiknya. Orang tuanya berprofesi petani di kampung fisiknya makin renta, tenaganya tak sekuat dulu. Hasil panen juga tidak menentu karena kondisi iklim yang tidak jelas.
Dalam keadaan itu, doi justru berontak, tidak tahu balas budi. Apa tidak kasihan dengan orang tua dan adik-adiknya? Dia mengerjakan sesuatu yang tidak memberi penghasilan, tidak sesuai harapan orang tuanya menguliahkannya.
Meski dianggap aksi pemberontakan, aku anggap pilihan doi adalah keputusan seorang yang sudah dewasa. Dia berani mengambil risiko. Dengan begitu aku tahu doi adalah wanita pekerja keras, mau belajar; lain dari umumnya. Meski waktu itu aku tidak berekspektasi terlalu jauh tentang doi.
Kurang lebih dua tahun doi di Bogor. Proses hidup yang menempanya telah membentuk karakternya makin matang. Kualitas inilah yang dibukakan padaku.
Setelah beberapa tahun berbasa-basi dalam pertemanan yang tak menentu, akhirnya "meloloskan" doi ke dalam kriteria pasangan hidupku.Â
Tak soal kalau doi berasal dari etnis Batak. (Aku tidak pernah memasukkan "etnis" dalam kriteria pasangan hidup.) Jadilah aku lebih aneh, karena tertarik pada perempuan yang aneh.
Aku mulai menikmati skenario Tuhan tentang pasangan hidup, meski masih samar-samar. Sebelum diarahkan pada doi, perjalananku cukup berliku sekedar untuk mengerucut pada satu-dua orang. Menyinggung sedikit tentang kriteria pasangan hidup.Â
Ada tiga jenis kriteria dalam memilih pasangan hidup, yakni primer, sekunder dan tersier. Seperti halnya kebutuhan dalam teori ekonomi.
Dalam kriteria primer, yang pasti kriteriaku yakni seiman, takut akan Tuhan dan dewasa. (Untuk kriteria sekunder dan tersier bisa menyesuaikan) Sambil mendoakan kriteria tersebut, aku meminta petunjuk pada Tuhan. Di mana sekiranya akan diizinkan bertemu calon PH.
Apakah di lingkungan tempat kerja, di gereja di Surabaya, di Perkantas Surabaya, di gereja Salatiga, atau justru di Perkantas Salatiga? Aku berinteraksi dengan teman-temanku secara wajar. Tuhan yang kiranya memimpin misiku.