Kau yang berjanji kau yang mengingkari... Petikan lagu tersebut cocok untuk Pak Mendag. Di lapangan, masyarakat sangat sulit mendapat minyak goreng murah di pasaran. Kejadian ini merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Meski pemerintah sudah menetapkan HET, pedagang keberatan karena stok mereka dibeli dengan harga lama. Seperti pedagang di pasar tradisional Sidodadi Solo misalnya, harus menjual minyak goreng curah dan kemasan dengan kisaran harga Rp18.000-Rp20.000/liter.
Biodiesel dan Bensa: "Magnet" Minyak Sawit
Disebutkan ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri, kelangkaan minyak goreng saat ini karena pemerintah lebih memanjakan biodiesel daripada urusan perut rakyat. "Sekarang pemerintah lebih mengedepankan buat energi, buat perut urusan belakangan. Makanya buat energi dimanja, buat perut tidak dimanja," kata Faisal 18/2/2022.
Akibat kebijakan pemerintah, pengusaha minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dalam negeri lebih banyak menyalurkan ke biodiesel daripada untuk konsumsi industri pangan. Lonjakan tajam peralihan ini terjadi sejak 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20% kandungan CPO dalam minyak biosolar).
Kita tidak bisa menyalahkan pengusaha, karena mereka tidak dilarang untuk mendapat untung. Naluri pengusaha tentu saja mencari bidang yang memberikan untung lebih banyak, yaitu kalau dijual ke biodiesel. Siapa yang membuat kondisi tersebut, ya pemerintah. Pemerintah, tandas Faisal, disebut salah kelola. Pemerintah yang tidak bisa memerintah.
Energi biodiesel juga disinggung mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan melalui blog pribadinya, disway.id. Adalah seorang perempuan tangguh bernama Melia Laniwati Gunawan. Jebolan Teknik Kimia ITB ini berhasil membuat bensin dari kelapa sawit. Ini menambah warna dalam langit pengetahuan Indonesia. Dia juga berhasil menemukan katalis merah putih, sehingga Pertamina tidak perlu mengimpor katalis untuk mengolah minyak mentah.
Dengan penemuan bensa, minyak sawit tidak lagi hanya bisa jadi minyak diesel. Selama ini minyak diesel sudah bisa dicampur dengan sawit, sebutannya B20, B30 atau berapa saja tergantung berapa persen campuran minyak sawitnya. Tim ITB bisa menciptakan D100, minyak sawit yang diubah menjadi 100% minyak diesel, tanpa campuran apa pun. Hebat ya...?
Kelemahannya, bahan baku D100 berasal dari CPO sawit, terlalu bagus. Bahan bakunya terlalu mahal. Perusahaan sawit hanya mau memproduksi CPO agar bisa diubah menjadi minyak goreng. Padahal, kalau untuk dibuat bensa/ D100, tidak perlu diproses menjadi CPO. Diperlukan pabrik lainnya, yakni pabrik IVO (Industrial Vegetable Oil). Masalah lagi, perusahaan sawit tentu enggan membangun pabrik IVO untuk bahan baku bensa.
CPO bisa dijual ke pabrik minyak goreng, di dalam maupun luar negeri. Harga CPO sangat baik saat ini, termahal dalam sejarah sawit: 1.400 dolar AS/ton. Saking mahalnya, ada yang menjual perusahaan sawitnya. Aneh? Justru Ketika mahal harus dijual, kalau nanti murah baru dibeli lagi. Itu prinsip pengusaha, bro!
Kelebihan bensa dari bensin adalah RON-nya. RON bensin yang selama ini kita tahu adalah 93 atau di bawahnya. Sedangkan RON bensa dari IVO bisa mencapai 112. Pemerintah mendukung penuh langkah ITB yang akan membangun sendiri pabrik IVO. Dananya dikumpulkan pemerintah dari para pengusaha sawit (di luar APBN), terkumpul di BLU (Badan Layanan Umum) Sawit di bawah Kementrian Keuangan. Tujuannya untuk pengembangan green energy dari sawit.
Lebih "liar", Dahlan menyebut pesaing bensa adalah mulut manusia. Semakin banyak mulut manusia di bumi, kian mahal minyak goreng. (Memangnya Pak Dahlan tidak masuk hitungan pemakan minyak goreng?) Ini mirip dengan proyek etanol dari jagung, harus bersaing dengan mulut ternak. Jumlah ternak terus dikembangkan, lebih baik jagung untuk makanan ternak. (Masalahnya Pak, tidak semua ternak makan jagung.)