Istriku adalah pengusaha minuman herbal rumahan. Kami punya langganan jahe---salah satu komposisi minuman herbal---di sebuah kios pasar tradisional, harganya berkisar Rp40.000/kg. Suatu kali, istri membeli lemon di kios lain, pas ada jahe sejenis, harganya lebih terjangkau yakni Rp35.000. Membeli dari kios ini, atau melekat pada langganan?
Kami menyukai kios langganan, ya. Tapi jika dapat bahan baku lebih terjangkau, yang artinya bisa menambah keuntungan dari tempat lain, mengapa tidak? Itu prinsip dasar berbisnis. Pragmatis dan juga logis.
***
Kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat gemas dan berang. Dari penjual makanan, pedagang di pasar, sampai emak-emak. Mau bagaimana, minyak goreng sudah mendarahdaging bagi masyarakat dalam menyajikan berbagai olahan makanan. Sudah harganya selangit, langka pula. Kalau pun mahal tapi stoknya stabil, barangkali tidak terlalu masalah. Lagi pula, kelangkaan ini tidak boleh berkepanjangan.
Janji Mendag tentang stok dan harga minyak
"Saya pastikan sepekan ke depan akan kembali normal dan paling lambat akhir Februari ini, semuanya normal kembali," ujar Muhammad Lutfi di Pasar Pabaeng-baeng Makasar dikutip dari suara.com. (17/02/2022) Lebih lanjut, kebutuhan masyarakat akan minyak goreng Februari ini 280 juta liter akan dipenuhi sebelum Februari berlalu. Â
Laporan kompas.com, selama empat bulan lebih, lonjakan harga minyak goreng dalam negeri melesat tanpa kendali. Dua bulan terakhir minyak goreng bahkan berkontribusi pada inflasi. Ironis, sedang pasokan minyak sawit di Indonesia selalu melimpah.
Pemerintah mengocorkan subsidi sebesar Rp 3,6 triliun untuk penyediaan minyak goreng murah seharga Rp14.000/liter. Tak lama, minyak goreng murah ini langsung ludes. Di ritel modern maupun pasar tradisional dan warung serta pedagang tidak menjual minyak murah tersebut. Aku sampai tidak "kecipratan" minyak murah ini. Sebabnya, masih punya minyak yang harga mahal. Pas mau beli, minyak murahnya sudah lenyap.
Baca juga:Â Harga Minyak Goreng Mahal? Ini 3 Tips Menghadapinya
Berikut ini daftar janji pak Mendag. Mendag Lutfi menjanjikan minyak goreng murah sudah tersedia di ritel modern di seluruh Indonesia per 19 Januari 2022, secara bertahap sudah dijual di pasar tradisional sepekan kemudian. (Kontan) Kemendag kembali berjanji bahwa pasokan minyak goreng murah sesuai HET akan lancar seminggu ke depan. Pemerintah juga berjanji distribusi minyak murah akan mencapai wilayah Indonesia timur. Dirjen Kemendagri Kementrian Perdagangan Oke Nurwan (8/2/2022) berujar, pihaknya akan mengontrol ketat suplai produksi minyak sawit untuk dalam negeri sebelum diekspor produsen.
Kau yang berjanji kau yang mengingkari... Petikan lagu tersebut cocok untuk Pak Mendag. Di lapangan, masyarakat sangat sulit mendapat minyak goreng murah di pasaran. Kejadian ini merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Meski pemerintah sudah menetapkan HET, pedagang keberatan karena stok mereka dibeli dengan harga lama. Seperti pedagang di pasar tradisional Sidodadi Solo misalnya, harus menjual minyak goreng curah dan kemasan dengan kisaran harga Rp18.000-Rp20.000/liter.
Biodiesel dan Bensa: "Magnet" Minyak Sawit
Disebutkan ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri, kelangkaan minyak goreng saat ini karena pemerintah lebih memanjakan biodiesel daripada urusan perut rakyat. "Sekarang pemerintah lebih mengedepankan buat energi, buat perut urusan belakangan. Makanya buat energi dimanja, buat perut tidak dimanja," kata Faisal 18/2/2022.
Akibat kebijakan pemerintah, pengusaha minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dalam negeri lebih banyak menyalurkan ke biodiesel daripada untuk konsumsi industri pangan. Lonjakan tajam peralihan ini terjadi sejak 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20% kandungan CPO dalam minyak biosolar).
Kita tidak bisa menyalahkan pengusaha, karena mereka tidak dilarang untuk mendapat untung. Naluri pengusaha tentu saja mencari bidang yang memberikan untung lebih banyak, yaitu kalau dijual ke biodiesel. Siapa yang membuat kondisi tersebut, ya pemerintah. Pemerintah, tandas Faisal, disebut salah kelola. Pemerintah yang tidak bisa memerintah.
Energi biodiesel juga disinggung mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan melalui blog pribadinya, disway.id. Adalah seorang perempuan tangguh bernama Melia Laniwati Gunawan. Jebolan Teknik Kimia ITB ini berhasil membuat bensin dari kelapa sawit. Ini menambah warna dalam langit pengetahuan Indonesia. Dia juga berhasil menemukan katalis merah putih, sehingga Pertamina tidak perlu mengimpor katalis untuk mengolah minyak mentah.
Dengan penemuan bensa, minyak sawit tidak lagi hanya bisa jadi minyak diesel. Selama ini minyak diesel sudah bisa dicampur dengan sawit, sebutannya B20, B30 atau berapa saja tergantung berapa persen campuran minyak sawitnya. Tim ITB bisa menciptakan D100, minyak sawit yang diubah menjadi 100% minyak diesel, tanpa campuran apa pun. Hebat ya...?
Kelemahannya, bahan baku D100 berasal dari CPO sawit, terlalu bagus. Bahan bakunya terlalu mahal. Perusahaan sawit hanya mau memproduksi CPO agar bisa diubah menjadi minyak goreng. Padahal, kalau untuk dibuat bensa/ D100, tidak perlu diproses menjadi CPO. Diperlukan pabrik lainnya, yakni pabrik IVO (Industrial Vegetable Oil). Masalah lagi, perusahaan sawit tentu enggan membangun pabrik IVO untuk bahan baku bensa.
CPO bisa dijual ke pabrik minyak goreng, di dalam maupun luar negeri. Harga CPO sangat baik saat ini, termahal dalam sejarah sawit: 1.400 dolar AS/ton. Saking mahalnya, ada yang menjual perusahaan sawitnya. Aneh? Justru Ketika mahal harus dijual, kalau nanti murah baru dibeli lagi. Itu prinsip pengusaha, bro!
Kelebihan bensa dari bensin adalah RON-nya. RON bensin yang selama ini kita tahu adalah 93 atau di bawahnya. Sedangkan RON bensa dari IVO bisa mencapai 112. Pemerintah mendukung penuh langkah ITB yang akan membangun sendiri pabrik IVO. Dananya dikumpulkan pemerintah dari para pengusaha sawit (di luar APBN), terkumpul di BLU (Badan Layanan Umum) Sawit di bawah Kementrian Keuangan. Tujuannya untuk pengembangan green energy dari sawit.
Lebih "liar", Dahlan menyebut pesaing bensa adalah mulut manusia. Semakin banyak mulut manusia di bumi, kian mahal minyak goreng. (Memangnya Pak Dahlan tidak masuk hitungan pemakan minyak goreng?) Ini mirip dengan proyek etanol dari jagung, harus bersaing dengan mulut ternak. Jumlah ternak terus dikembangkan, lebih baik jagung untuk makanan ternak. (Masalahnya Pak, tidak semua ternak makan jagung.)
Dengan ditemukannya bensa, kita sudah lebih banyak pilihan untuk green energy. Kelak, kalau harga sawit jatuh, masih laku untuk bensa. Dahlan menutup, "Sawit untuk manusia, jagung untuk ternak. Mulut menjadi pesaing abadi untuk green energy."
Semasa kuliah (2012-an), dosenku pernah berujar bahwa topik yang tidak akan ada habisnya adalah energi. Semua makhluk hidup di bumi memerlukan energi. Manusia terus bertambah, sedang sumber energi terus berkurang. Konsep green energy yang dimaksud Dahlan nyambung dengan ucapan dosenku. Masalahnya, sumber green energy-nya adalah sumber bahan pangan. Jadi saingan seperti kata Dahlan.
Sebagai seorang guru sekaligus penikmat gorengan, aku sepakat dengan Faisal Basri. Tata kelola pemerintah menjadi kuncinya. Pembaharuan energi perlu, tapi perut rakyat jangan diabaikan. Kalau pun salah satu rantai suplay ada di kalangan pengusaha, seperti pengalamanku di awal artikel ini, tidak ada yang salah dengan mendapat untung. Namanya juga pengusaha. Maka, pemerintah yang harus cerdas, tegas dan jelas dalam membuat kebijakan. Jadi kebutuhan energi dan pangan sama-sama terpenuhi.
Sampai ada meme, "Waktu Covid-19 varian Alfa, yang langka masker dan hand sanitizer. Saat varian Delta, yang langka tabung oksigen. Waktu varian Omicron, malah minyak goreng yang langka." --KRAISWANÂ
Referensi: satu, dua, tiga, empat, lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H