Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Guru Swasta, Mutasi Dokumen, dan Dana Cadangan

9 Februari 2022   12:52 Diperbarui: 10 Februari 2022   06:00 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah pengalaman pertamaku mengurus pajak lima tahunan sepeda motor. Berbeda dengan pajak tahunan yang bisa diurus di Samsat Online Salatiga (domisili saat ini), untuk mengurus pajak lima tahunan harus di Samsat pusat penerbitan BPKB, daerah Kabupaten Semarang.

Waktu membeli motor ini, aku memakai KTP sendiri. Tidak seperti beberapa orang pragmatis, nembak BPKB dengan meminjam KTP warga di daerah kota. 

Menjadi rahasia umum, pengurusan segala administrasi di kota jauh lebih mudah dan cepat dibanding daerah kabupaten. 

Maklum, Kota Salatiga yang mungil jumlah penduduknya tidak seberapa dari kabupaten. Tapi, hari gini revolusi pelayanan publik harus dilakukan toh?

Sepak terjang guru swasta

Banyak orang---entah temanku, atau teman bapakku---yang bertanya, "Sudah diangkat, Mas?" 

Diangkat ke mana nih, ke atas meja? Pemahaman orang tua kalau jadi guru targetnya diangkat CPNS. Membanggakan dan menjanjikan, katanya. 

Aku guru swasta, om, tante, prens! Jadi diangkatnya ya jadi pegawai tetap. Itu pun harus bersyukur.

Aku menjadi tulang punggung keluarga. Istri fokus mengurus anak, perihal rumah tangga sambil mengerjakan usaha rumahan---sesuai kesepakatan kami waktu pacaran. 

Dengan upah minimum, kami harus memutar otak setiap hari supaya belanga terus mengepul. Belum untuk iuran rutin maupun kegiatan sosial yang mendadak, menjenguk orang sakit, atau lelayu misalnya.

Dalam hal perizinan, di sekolahku juga lumayan ketat. Tidak seperti di sekolah negeri yang kalau gurunya ada kepentingan, kelas diberi tugas seadanya. Lebih parah dibiarkan kosong. Hal ini pantang di sekolah kami. Jika mau izin untuk suatu keperluan, harus berkomunikasi dengan wakasek jauh hari agar bisa disiapkan pengganti.

Ilustrasi guru swasta, mutasi dokumen dan dana cadangan | sumber: tanotofoundation, @KRAISWAN, lifepal.co.id
Ilustrasi guru swasta, mutasi dokumen dan dana cadangan | sumber: tanotofoundation, @KRAISWAN, lifepal.co.id

Administrasi seperti RPP, summary, dan slides PPT juga harus siap dan lengkap. Demi memudahkan teman guru yang akan menggantikan untuk mengajar. 

Di sini, kami merasa kuk sebagai guru memang berat. Jika bukan untuk hal yang sangat penting, aku meminimalkan untuk izin. 

Syukurnya, dalam masa ini masih PTM Terbatas, aku punya cukup banyak waktu longgar, sehingga mudah untuk izin.

Terpaksa melakukan mutasi dokumen

Dalam pengalaman bapakku, jika dia membeli kendaraan bekas, dia takkan memutasi dokumen atas namanya. MAHAL. Selain bukan urgensi, tidak ada posnya. Biayanya bisa dipakai untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.

Awal bulan Januari aku izin untuk mengurus pajak ke Samsat daerah Ungaran. Aku tidak menjelaskan alurnya detil, karena tiap daerah bisa berbeda. 

Pada dasarnya, harus mengisi formulir, membayar administrasi, dan menggesek nomor mesin. Siapkan pecahan Rp 5.000,00 atau Rp 10.000,00. Ongkos gesek.

Aku harus melakukan mutasi BPKB karena ada perubahan domisili. Ini pun diarahkan langsung, bukan ditawarkan. 

Setelah mengantri di loket selama tiga jam lebih dan membayar, aku diarahkan ke Poltas bagian BPKB. 

Di sana hanya mengisi formulir sesuai data dari Samsat. Total biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 250.000,00. Wah murah kok ternyata, kenapa bapakku enggan mengurus mutasi? Tapi...

Biaya itu baru untuk mengurus mutasi keluar dari Kabupaten Semarang. Aku masih harus mengurus mutasi masuk di Samsat kota tujuan, yakni Salatiga. Dana kami sudah nol waktu itu. Aku takut kalau ternyata masih harus membayar administrasi lagi.

Lalu, dananya dari mana?

Aku terpaksa meminjam uang bisnis istri buat berjaga-jaga. Dan betul saja, berkas dari Poltas Ungaran aku masukkan ke Samsat Salatiga. 

Aku diminta mengisi formulir, gratis, lalu diarahkan ke Poltas bagian BPKB. Di sini biaya administrasinya Rp 225.000,00. Masih cukuplah uang pinjaman dari istri.

Lalu aku diarahkan kembali ke Samsat, loket 1. Setelah berkas dikumpulkan, aku menunggu dipanggil.  Sekitar 20 menit kemudian, namaku dipanggil ke loket 2, bagian pembayaran. 

"Rp 380.000,00, Pak!" Ujar petugas. Mateng! Seketika aku jadi panas-dingin. Dari mana uang untuk membayar, sedang dompet dan ATM sudah "kering".

Pentingnya memiliki dana cadangan

Banyak teori ekonomi yang menyebutkan, keuangan keluarga yang sehat adalah memiliki 1,5 kali dari jumlah kebutuhan. Adapula yang menyebut, minimal 9 kali dari jumlah kebutuhan. Aku? Masa bodoh dengan teori. Bisa "bernafas" hingga bulan berikutnya tanpa utang sudah syukur.

Aku pencari nafkah utama. Istri usaha kecil-kecilan di rumah. Kami punya anak bayi, dan menaungi satu adik usia kuliah. Banyak yang heran, "Masih bisa hidup, Pak?" Buktinya, sampai sekarang tak ada kejadian beli obat maag.

Baca juga: Sesusah-susahnya Hidup, Paling Enak tanpa Utang

Aku teringat pentingnya punya dana cadangan. Mentorku di gereja pernah mengajari kami tentang pengelolaan keuangan yang baik. Harus dibuat perhitungan yang cermat, berapa pendapatan, berapa kebutuhan. Harus dibuat pos-pos tertentu. Misalnya pos sosial untuk berjaga jika ada tetangga yang sakit, atau lelayu. Pos lain-lain jika terjadi insiden tak terduga, ban bocor misalnya.

Meski tidak semua pos itu dananya terpakai harus tetap diisi. Jika tidak, entah bagaimana kisahnya, pasti habis. Dengan gajiku yang terbatas, mustahil rasanya mengisi pos lain-lain. Tapi apa jaminan gaji 10 juta bakal cukup jika tidak dikelola dengan baik? Aku berusaha tetap mengisi pos lain-lain, meski sedikit.

Misalnya setelah gajian, aku langsung menarik sejumlah uang dari ATM, lalu menyisihkan Rp 50.000,00 untuk pos lain-lain. Tidak setiap bulan bisa mengisi tak apa, tapi terus diusahakan.

Anak kami, meski masih bayi pun kami ajari menabung. Caranya? Dari beberapa orang yang berkunjungi pasca-kelahiran, biasalah, banyak yang memberi amplop. Oleh istri, uang itu disimpan sebagai hak anak kami. Suatu kelak dipakai untuk kebutuhannya. (Barangkali hanya kami orang tua yang demikian)

Selain itu, menjadi cara kami untuk menahan diri. Kami mencukupkan diri dengan gaji dan hasil bisnis. 

Para saudara dan kawan memberi untuk anak kami, ya itu jadi haknya. Kami simpankan uangnya di salah satu ATM, yang khusus menabung.

Siapa sangka, tabungan anakku ini pun menjadi cara Tuhan untuk menolongku membayar mutasi BPKB. Terima kasih ya, Nak sudah memberi pinjaman pada papa.

Bagaimana caraku mengembalikan uang anakku? Dana cadangan yang aku kumpulkan Rp 50.000,00 tiap bulan tadi jawabannya. 

Sebenarnya pos ini untuk tabungan membeli laptop baru. Tapi, ya mau bagaimana, soalnya ada kebutuhan yang lebih mendesak.

Bagiku, penting punya dana cadangan keluarga, tak soal apa pun profesinya. Jika tidak, bisa-bisa kita terjerat utang.

 --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun