Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tatap Muka Terbatas atau Belajar dari Rumah? Ayah-Bunda Pastikan 3 Hal ini!

9 September 2021   12:52 Diperbarui: 11 September 2021   09:37 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar tatap muka terbatas atau tetap di rumah? | sumber: shutterstock via kompas.com, KalderaNews/Disdik Surabaya, diolah: KRAISWAN

Di sini aku masih menunggu, menemani anak b'lajar daring Aku tanpa mu uuu, ooo.... Begitu barangkali jeritan hati orang tua atas anak-anaknya yang harus menjalani belajar daring.

Sudah sejak awal tahun ajaran (bulan Juli) wacana PTM (Pembelajaran Tatap Muka) Terbatas digulirkan pemerintah. Namun tetap jadi wacana karena kasus Covid-19 masih fluktuatif. Simulasi PTM sudah dilakukan. Guru-guru sudah divaksin. Program dan penamaan kebijakan pemerintah sudah diganti hingga berlevel-level.

Masih tunggu apalagi buat PTM?

Yang namanya kebijakan, pasti ada pro dan kontra. Tidak bisa menyenangkan semua pihak. Wacana PTM ini makin panas kala anak sekolah sudah mendapat jatah vaksin. Makin banyak prasyarat dipenuhi, makin besar peluang diwujudkan PTM.

Tapi timbul kegalauan tak hanya dialami orang tua dan murid, melainkan guru dan pihak sekolah. Tulisan ini bermaksud membagikan pengalaman sebagian orang tua---pengambil keputusan terakhir---berikut kegalauannya.

Ada yang sudah lama mendesak, kapan dilakukan PTM. Anaknya keburu stes yang berpotensi menular pada emak-nya. Anak tidak konsentrasi di rumah. Begitu diminta persetujuan, malah galau. Takut kalau anaknya ke sekolah, nanti kenapa-napa.

Per minggu ini Salatiga sudah menurun level kedaruratan Covid-19, dari level 4 menjadi 3. Pemerintah mengijinkan sekolah melakukan PTM jika daerahnya maksimal di level 3. 

Maka, Senin (6/9) sekolahku mengedarkan form persetujuan PTM kepada orang tua. Maksimal dikumpulkan Rabu (8/9). Lebih dari 50% orang tua setuju PTM, lainnya masih galau. Ada juga yang melihat dulu jalannya PTM sebulan ke depan.

Ada yang mempertanyakan protokol yang diterapkan sekolah, meski sudah pernah dilakukan simulasi. Ada yang khawatir kalau anaknya auto peluk dan pegang-pegang dengan temannya. Tapi kalau di rumah, ya itu tadi anaknya stres. Repot.

Bak sudah menjadi orang tua, aku bertanya pada istri. "Kalau kamu sudah jadi orang tua, kamu pilih yang mana?", tanyaku. "PTM", balasnya tanpa aroma keraguan. Nekat. 

"Kenapa? Nanti kalau terpapar bagaimana?", aku masih penasaran. "Ya tidak apa-apa. Kita siapkan dia, diedukasi dan diajari protokol yang benar. Kalau tertular, ya diobati". Lugas, tanpa banyak micyin.

Orang tua adalah kunci pengambilan keputusan. Anak, apalagi masih SD, masih belum bisa mengambil keputusan. Apa yang orang tua pilih, itu juga harus dijalani. Salah ambil langkah, bisa jadi masalah.

Terkait keputusan mau PTM atau tetap di rumah, menurutku orang tua perlu memastikan tiga hal ini.

Apakah anakku sudah mandiri?

Kemandirian bukan bawaan lahir. Harus dilatih sejak dini. Jika mau mengajarkan anak mandiri, inilah waktunya. Pembelajaran daring bisa jadi latihan sekaligus batu uji kemandirian bagi anak.

Apakah anak anda masuk kelas, dan mengerjakan tugas tepat waktu? Adakah ia tahu tempat BAB yang benar? (Seruis, ada orang tua japri ke aku, minta tolong memberitahu anaknya karena berulang BAB di celana. Helo...?) Apakah ia rajin mandi dan membersihkan kamarnya sendiri? Jika hal mendasar itu belum terjawab "Ya", sebaiknya tidak melakukan PTM. Sebabnya, besar peluang ia takkan patuh protokol kesehatan.

Mendampingi anak

Anda, orang tua dari anak SD pasti tahu begitu limpah tugas yang harus dikerjakan. Apalagi mapel Tematik. Tugasnya banyak, gurunya cerewet. Jika anak mandiri, pasti semua tugas, sebanyak apa pun bisa dikerjakan. Sesekali terlambat, tak apalah. Asal disadari dan ada tanggung jawab untuk menyelesaikan.

Orang tua yang tiap hari bertemu anak, bertanggung jawab mendampingi anak. Memantau progresnya, kendala apa yang ditemui, dan bersama mencari solusi. Tapi saya sendiri tidak mengerti materinya. BELAJARLAH! Omong kosong menuntut anak mengerjakan tugas, sedang orang tua 'cuci tangan'.

Tapi saya dan suami di luar kota/ pulau. Demikian penjelasan orang tua lainnya. Lha gimana, kamu dan suami yang mbuat anak, terus anakmu diurus siapa? Ada tante, kakak, kakek-nenek, atau kerabat lainnya. Bahkan, orang tua dengan finansial memadahi mudah membayar jasa guru les. Tapi, aku katakan, itu kan anakmu. Bertanggung jawablah, dampingilah anakmu.

Baca juga: Calon Ayah, Yuk Temani Bunda Periksa

Paham, dan siap menanggung resiko

Inilah alasan Kemendikbud(ristek) meregulasikan orang tua di posisi terakhir dalam mengambil keputusan. Orang tualah yang akan menanggung dampak langsung atas keputusan yang diambil.

Jika anak tetap di rumah, makin besar kemungkinan anak menjadi stres, pemalu, minder dan tak menutup kemungkinan anti sosial. Jika anak ke sekolah, padahal belum divaksin, bisa tertular dan menularkan virus. Kalau begini, maju kena, mundur kesenggol. Mau bagaimana?

Harus paham dan siap menanggung resiko. Baik di rumah atau PTM terbatas sama-sama beresiko. Harus dianalisis, pilihan mana yang resikonya paling kecil. Harus disimak tak hanya aspek fisik, tapi juga emosional anak.

Kalau aku pribadi, sejalan dengan istri. Anak tidak bisa terus-terusan melar 'di penjara' (Betul, 3 semester belajar daring, beberapa murid, khususnya cowok badannya cepat melar, hihi). Anak juga harus punya kemampuan beradaptasi dengan lingkungan luar. Dia harus tahu mekanisme agar tetap sehat-selamat di tengah pandemi yang berkepanjangan ini.

Wahai orang tua, apakah anak dalam kondisi fit dan tahan banting? Sanggupkah mengantar jemput? Apakah anak bisa menjaga protokol kesehatan setelah dari luar rumah? Apakah orang tua bisa memantau dan mengevaluasi saat anak di rumah? Jika minimal dua jawaban "Ya", boleh PTM.

Kalau ayah-bunda, setuju PTM atau tetap belajar daring? --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun