Hari gini akses akan perangkat digital adalah keniscayaan. Apalagi profesi guru. Penggunaan HP misalnya, harus memakai tripod, sejeleknya sandaran HP. (Emang mantan aja yang butuh bersandar, wkwk)
Saking hematnya, aku enggan membeli penopang HP. Padahal, temanku beli online ada yang harga 5 ribu (lebih murah dari seblak). Aku bergeming. Gantinya, aku (dan istri) memakai air gelas mineral sebagai sandaran. Hemat kan? Gini nih, hidup orang susah.
Plastik bekas kemasan beras, alas gepuk garam blok
Ada yang bilang dangdut tak goyang, bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang segar.... Masih ingat pedangdut goyang ngebor? Saking memukaunya, disemprit sama raja dangdut pendiri partai idaman. Tenang, aku tak akan membahas dangdut.
Semua masakan pasti butuh garam. Istriku terbiasa dengan garam halus. Aku, garam blok. Meski sama-sama asinnya, aku yakin garam blok lebih asin asinnya (??). Aku ngeyel, istri ngomel. "Ribet tau, harus digepuk, lama, trus tidak semua halus", keluhnya.
Aku pun turun tangan. Dengan kekuatan bintang.... Hasyah! Dengan plastik bekas kemasan beras, aku pakai sebagai wadah untuk menggempur si garam blok sampai halus. Canggih. Eh, sesekali ada yang masih bongkahan sih.
Lakban penyambung umur carger
Yang terakhir ini paling darurat. Kalau tak diakali, mana bisa aku menulis artikel di Kompasiana. Laptopku saat ini adalah laptop kedua dalam hidupku. Pun, hasil tebusan teman di pegadaian. Sejak 2014, jadi sudah tujuh tahun.
Carger, penyambung nyawa si laptop, terkelupas di salah satu sisi. Mungkin karena sering dilipat, ditindih, diinjak dan ditekan. Sampai 'urat' kabelnya kelihatan. Ngeri!