Peretasan hidup adalah aktivitas menggunakan segala cara, daya dan media yang ada---terbatas sekalipun---agar hidup terus berjalan.
Seiring bertambah usia, limpah pula tanggung jawab kita. Keluarga, tempat tinggal, hadirnya anak, perjalanan, komunikasi, hiburan, serta bermacam peralatan. Semua perlu biaya. Terasa makin berat di tengah pandemi berkepanjangan.
Hidup pasti mudah jika rezeki terus lancar, syukur berkelimpahan. Bagaimana jika fakta berlawanan? Berita baiknya, Tuhan menciptakan manusia agar adaptif. Kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Kemampuan ini yang membuat spesies Homo Sapiens tidak punah, terus eksis meski ribuan tahun berlalu.
Peretasan hidup (life hack) menjadi salah satu keterampilan wajib kita miliki di tengah zaman yang penuh tantangan. Merekayasa hidup. Keterampilan ini bisa dilatih dan dikembangkan. Ingat, kita spesies adaptif. Harus menyesuaikan diri, memikirkan banyak ide, mencoba semua cara yang mungkin agar kebutuhan tercukupi.
Dari banyak kebutuhan itu, diantaranya adalah sarana-prasarana. Namanya barang dipakai, pasti berkurang nilai gunanya. Suatu saat bakal uzur, rusak. Tak lagi berfungsi. Bagaimana siasat supaya hidup dapat terus berjalan tanpa harus membeli baru? Beda tipis antara kreatif dan konyol, begini peretasan hidup di rumahku.
Karet gelang, pengikat kaleb arloji
Untuk pertama kalinya, aku punya jam pintar. Dibelikan orang. Aku suka banget dengan jam ini. Pertama, warnanya pink. Kedua, modelnya keren. Ketiga, gratis, hihi.
Sekitar dua tahun pemakaian, cantolan kalebnya putus, hiks. Beberapa waktu aku tak memakai jam kesayangan. Sedih, bingung memperbaikinya. Kalau dipaksa pakai, tak rapi. Melambai-lambai bak boneka di pinggir jalan, meminta mampir.
Strateginya, sesuai ilmu zaman masih kecil, pakai karet gelang! Agak aneh, soalnya beda warna. Jamnya warna pink, karetnya kuning. Norak. Tak apalah, yang penting berfungsi. Toh posisinya di bagian bawah. Hanya kita dan Tuhan yang tahu.
Kertas bekas pengganjal gasper
Dari sekian banyak tingkah manusia, ada satu hal yang membuatku pening. Yang kurus pengen gemukan. Yang sudah gemuk, berambisi diet, tapi memburu promo Gofood tiap hari. Syapek deh!
Dulu, waktu kerja di Surabaya lingkar perut sempat bertambah. Tak lama, kembali susut. Kini, setengah tahun setelah menikah si perut kembali mengembang. Artinya, bobotku bertambah. Indikatornya? Perut terasa sesak, sabuk sampai lepas dari gaspernya. Bayangkan!
Aku sudah berusaha mengakali, ditambal pakai lakban transparan, lakban hitam, sampai selotip kertas. Nihil! Tetap selip. Syukurnya sabuk itu batal digudangkan, karena masih berfungsi. Triknya? Ganjal dengan kertas bekas. Selesai soal. Selotip kan licin, makanya selip. Sedangkan kertas tidak.
Tali rafia untuk 'menempel' colokan
Di rumah kontrakan (baca: pinjaman) kami posisi colokan listriknya unik. Sayangnya, kurang cocok dengan pola kerjaku dan istri. Ada yang ketinggian, atau kejauhan dari meja. Jadi harus ditambah perpanjangan kabel. Seringnya posisi kabel ini tak teratur, jadi mengganggu.
Mau ditempel permanen, ini rumah orang. Kalau didiamkan bikin gemes. Dipakailah paper clip hitam besar sebagai pengait, lalu tali rafia sebagai pengikat. Taraa... Lumayan rapi kok.
Air mineral gelas sebagai sandaran HP
Hari gini akses akan perangkat digital adalah keniscayaan. Apalagi profesi guru. Penggunaan HP misalnya, harus memakai tripod, sejeleknya sandaran HP. (Emang mantan aja yang butuh bersandar, wkwk)
Saking hematnya, aku enggan membeli penopang HP. Padahal, temanku beli online ada yang harga 5 ribu (lebih murah dari seblak). Aku bergeming. Gantinya, aku (dan istri) memakai air gelas mineral sebagai sandaran. Hemat kan? Gini nih, hidup orang susah.
Plastik bekas kemasan beras, alas gepuk garam blok
Ada yang bilang dangdut tak goyang, bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang segar.... Masih ingat pedangdut goyang ngebor? Saking memukaunya, disemprit sama raja dangdut pendiri partai idaman. Tenang, aku tak akan membahas dangdut.
Semua masakan pasti butuh garam. Istriku terbiasa dengan garam halus. Aku, garam blok. Meski sama-sama asinnya, aku yakin garam blok lebih asin asinnya (??). Aku ngeyel, istri ngomel. "Ribet tau, harus digepuk, lama, trus tidak semua halus", keluhnya.
Aku pun turun tangan. Dengan kekuatan bintang.... Hasyah! Dengan plastik bekas kemasan beras, aku pakai sebagai wadah untuk menggempur si garam blok sampai halus. Canggih. Eh, sesekali ada yang masih bongkahan sih.
Lakban penyambung umur carger
Yang terakhir ini paling darurat. Kalau tak diakali, mana bisa aku menulis artikel di Kompasiana. Laptopku saat ini adalah laptop kedua dalam hidupku. Pun, hasil tebusan teman di pegadaian. Sejak 2014, jadi sudah tujuh tahun.
Carger, penyambung nyawa si laptop, terkelupas di salah satu sisi. Mungkin karena sering dilipat, ditindih, diinjak dan ditekan. Sampai 'urat' kabelnya kelihatan. Ngeri!
Suatu hari waktu menancapkan ke stop kontak, kok tidak terisi dayanya? Aneh. Setelah aku belai-belai si carger, bisa. Entah apa salahnya. Mungkin ada kabel yang kendor. Tujuh tahun, sudah sangar itu. Mau beli carger baru, eman. Mau diservis, berat di ongkos. Solusi: tutup pakai lakban. Berhasil. Sesekali kumat tak apa. Masih bisa menyambung umur si laptop.
Begitulah kawan, peretasan hidup di rumahku. Anda punya cara yang lebih konyol? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H