Senada dengan itu, tidak semua orang punya telinga yang baik. Diajak bicara perlahan dan lembut saja bisa salah paham. Apalagi mendengar kata "benci".
Bagi pelaku UMKM, kalimat "Cintai produk dalam negeri" bak tetes embun di padang gurun tengah hari. Menyejukkan. Apalagi di masa paceklik akibat pandemi Covid-19 yang membuat banyak UMKM loyo. Presiden adalah sahabat UMKM!
Buat yang punya telinga penuh "kotoran", omongan Jokowi di atas adalah gangguan sekaligus kesempatan. Gangguan bahwa jika sampai manusia Indonesia beneran membenci produk luar negeri, habis sudah remah-remah jatah mereka. Tapi juga kesempatan untuk melawan dan menjatuhkan sang presiden.
Ada yang diuntungkan dengan produk luar negeri
Jokowi tentu paham karakter masyarakat Indonesia. Dari emak-emak sampai milenial, kalau beli barang, yang pertama adalah murah plus diskon. Perkara produk dalam atau luar negeri, itu soal belakang. Pokoknya murah titik.
Jangankan masyarakat awam (yang demen harga murah), lha wong jajaran pembuat kebijakan saja demen melakukan impor, karena mendapat untung karenanya. Mau gimana?
Memang lucu negeri ini. Sebagai negara agraris, mengimpor beras dari negara yang lebih kecil seperti Vietnam dan Thailand. Belum cukup, menjadi negara maritim, mengimpor garam. Voila! Bukan karena di Indonesia tak ada barang tersebut, tapi karena ada pihak yang mendapat untung darinya!
Suatu ide
Jika masih sulit menanamkan kecintaan pada produk dalam negeri, tak usahlah mengajak membenci produk bangsa lain. Yang perlu dipikirkan, bagaimana supaya produk kita bisa lebih murah, tapi kualitasnya tak kalah. Untuk menekan laju impor, naikkan bea cukainya.
Masih sulit? Ganti saja menterinya yang tak doyan banyak impor. Masih susah juga? Kalau begitu, mari belajar Bahasa Indonesia yang baik dan benar, pak presiden. Agar tidak terjadi hal tak diinginkan di antara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H