***
"Senada" kisah di atas, Gabe, seorang siswa SMA sekaligus pelari harus merelakan kesempatan pada kualifikasi lomba lari lintas alam tingkat negara bagian. Padahal selama ini ia sudah berlatih untuk kejuaraan tersebut.
Penyebabnya, kebarakan hutan di California pada 2018. Sepatu larinya tertinggal di rumah yang kini hangus terbakar. Hal ini juga berarti terlewat kesempatan yang dapat memberinya pencapaian tertinggi sebagai atlet.
Cerita belum selesai. Mengetahui kondisi Gabe, komisi atleltik negara bagian memberinya peluang. Ia harus berlari sendiri untuk mencapai waktu minimal, di atas lintasan atletik milik sekolah lawan dengan memakai sepatu biasa. Adakah kesempatan menang baginya?
Hari perlombaan tiba. Betapa kagetnya Gabe, pesaingnya juga datang. Lebih kaget karena mereka memberi sepatu lari yang tepat dan turut berlari mendampinginya, memastikan ia berlari dengan kecepatan yang diperlukan untuk lolos ke perlombaan tingkat negara bagian.
Para lawan Gabe tidak berkewajiban menolongnya. Mereka bisa saja menuruti keinginan alamiah, mementingkan diri sendiri. Dengan begitu peluang untuk menang terbuka lebar. (Our Daily Bread)
***
Dari kedua kisah di atas, saya teringat perkataan Guru---yang mengajarkan kebenaran, dan Kristus---Tuhan dan Pencipta manusia serta alam semesta, "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu."
Saat dunia mengajarkan kita mengasihi sesama yang mengasihi kita dan membenci musuh, Sang Guru Agung sebaliknya. Suatu tindakan mustahil dilakukan kecuali disertai penundukan diri. Musuh di sini berarti orang yang menyakiti, merugikan, mencemarkan nama baik, menghalangi jalan, bahkan yang mungkin mengancam kemenangan dan hidup kita.
Bagi saya, kemenangan tidak ditunjukkan seberapa gede kendaraan kita, seberapa kuat fisik, jabatan atau kedudukan kita, atau sebanyak apa pengikut dan pembela kita. Pemenang segala rupa pertandingan adalah mereka yang lebih besar keberaniannya mengalahkan diri sendiri melampaui apa pun yang melekat padanya.