Tingginya kriminalitas di negeri ini bukan karena banyak orang jahat. Tapi karena banyak orang baik yang diam. Kira-kira begitu bunyi kampanye Anies Baswedan sebelum maju ke Jakarta.
Kebenaran, mau ditutupi serapat, sedalam dan sekelam apa pun, bakal terungkap. Entah cepat atau lambat. Namun, para ahli berkata ketidakbenaran yang terus-menerus disuarakan diyakini sebagai kebenaran. Ini bahaya. Ngomong-ngomong tentang kebenaran, di tengah situasi pandemi yang masih mengganas, ada kasus yang menyita perhatian, lalu menggegerkan publik: putusan sidang Novel Baswedan.
"Sidang sandiwara", demikian Novel menyebut. Karena untuk kasus penganiayaan tingkat tinggi yang dialaminya, pelaku hanya dituntut satu tahun.
Suara saya akan lebih lantang dari dalam kubur
--Tan Malaka
Ketidakadilan bukan hanya dialami Novel Baswedan. Banyak di luar sana yang senasib, bahkan tak kalah tragis. Seperti pelaku maling singkong karena kelaparan, dihukum jauh lebih berat. Lucunya peradilan di negeri kita.
Jika orang sekaliber penyidik senior KPK bisa sedemikian dizalimi, apa jadinya jika rakyat awam yang menguak kasus korupsi? Jangan ditanya. Tak hanya air keras---yang oleh Jaksa Fredrik disebut aki---mungkin timah keras bakal menimpa rakyat itu. Gampang, nanti di persidangan tinggal dibilang tidak sengaja. Niatnya mau menggertak, karena rakyat itu pengkhianat. Selamat datang di negeri sinetron.
Presiden Jokowi sudah mengultimatum Polri bahwa kasus Novel harus diusut tuntas. Namun sampai jabatan Kapolri diisi Idham Azis, "PR" tersebut tak kelar. Butuh setidaknya 2,5 tahun hingga Tito digeser ke Kemendagri, baru terungkap di persidangan sandiwara, bahwa pelakunya anggota polisi. Janggal?
Banyak orang yang tidak suka Jokowi
Menurut saya inilah kelemahan sistem demokrasi. Presiden bilang A, bawahan lakukan B. Seperti pengalaman saya bulan Oktober 2019 saat menjadi relawan pengajar korban gempa Lombok. Dalam komunikasi di masyarakat, bantuan untuk para korban seret. Presiden bilang, bantuannya berupa uang tunai, tiap KK dibuatkan rekening. Tapi pemda menghendaki warga membuat pokmas (kelompok masyarakat) sepuluh KK per kelompok guna mengatur pembelanjaan material bahan bangunan.
Inilah menurut saya, membelot dari pimpinan. Dalam kasus Novel, pembelot dimaksud masih eksis. Bayangkan jika pemerintah kita masih otoriter. Sedikit saja praktiknya kurang satu senti dari perintah, "DOR!". Habis perkara. Kita jelas tidak menghendaki yang demikian.
Sekilas ketidakadilan di Indonesia
Prematur menyebut Indonesia negara maju. Maju dari mana? Indikatornya apa? Siapa yang memberi predikat? Sedangkan penegakan hukum saja masih compang-camping begini.
Ingatan kita rasanya takkan usang pada para korban pejuang kemanusiaan masa lalu. Dilansir dari boombastis.com, berikut sejumlah tokoh dimaksud. Salim Kancil, petani dan aktivis lingkungan di Lumajang, tewas mengenaskan karena menolak lingkungannya dijadikan penambangan pasir. Munir, diracun zat arzenik, karena diduga memiliki sejumlah dokumen terlarang.
Marsinah, aktivias buruh, tewas mengenaskan karena menuntut perbaikan upah buruh. Theys Eluay, aktivis Papua yang dianggap menghalangi aliran pundi-pundi uang di tanah Papua, tewas di tangan anggota militer Indonesia. Jopi Peranginangin, aktivis lingkungan hidup yang vokal perkara perusakan lingkungan, dikeroyok sejumlah orang, ditusuk di punggung, dan tewas. Raibnya Wiji Thukul di tahun 1998 dan banyak kasus lain bisa ditambahkan.
Dalam kasus Novel, beliau tidak sengaja "disiram air keras di badan", yang "kebetulan mengenai muka", yang kemudian menyebabkan cacat permanen karena "salah penanganan". Kita bersyukur kondisi kesehatan Pak Novel sudah membaik. Beliau toh sudah mengampuni para pelaku yang diyakininya bukan dalang sesungguhnya karena JPU tak mampu menjelaskan keterkaitan bukti dengan terdakwa. Hanya, beliau berharap hukum dan keadilan ditegakkan di negeri ini, khususnya untuk mereka yang membongkar kasus korupsi.
Mengkritik lewat Lawak
Siap menjadi pemimpin, siap menerima kritik. Dalam banyak hal, kritik diperlukan untuk perbaikan sekaligus pengingat jika lakunya mulai melenceng.
Di negara demokrasi ini, siapa pun boleh berpendapat. Wajar pula kalau pendapatnya berbau kritik. Memangnya anggota DPR atau orang gede saja yang boleh melayangkan kritik. Rakyat awam, termasuk komedian tidak boleh? Buktinya, Bintang Emon yang mengangkat keresahan masyarakat dengan nada humor terkait putusan jaksa atas kasus Novel, diteror. Bahkan dijegal dengan isu memakai narkoba.
Gawat. Teror dengan bom dan senapan tak mempan, kaum pengerat berdasi ini terus memproduksi teror termasuk lewat media sosial. Melalui ini saya angkat pena pada Bintang Emon atas kreativitasnya mengolah kritik.
Logika Ade Armando
Saya setuju dengan logika Ade Armando. Dari beberapa ulasannya di Youtube, logikanya bernas untuk dicerna. Dari rangkaian panjang kepemimpinan Jokowi di periode kedua, banyak oknum berusaha menggulingkannya. Sebutlah tuntutan lockdown, narasi pemakzulan melalui webinar, tuntutan permintaan maaf atas pemutusan jaringan internet di Papua pada 2019, dan narasi bengkok lain yang digarap oleh dalang yang sama.
Jokowi tak luput disalahkan atas putusan jaksa terkait kasus Novel Baswedan, meski pihak istana tidak bisa mengintervensi jalannya sidang. Jadi presiden memang tak mudah, bro. Mengkritik adalah sah, tapi yang elit dong. Dengan pengalaman saya di Lombok itu, masuk akal jika dalam banyak hal Jokowi disalah-salahkan. Kapolri, mana suaranya?
Meminjam istilah Prof. Wiku Adisasmito, "Kenali musuhmu, kenali dirimu, dan menangkan pertempuran". Menganggapi kasus Pak Novel, kehidupan di tengah pandemi, dan adaptasi di masa transisi kewajaran baru, marilah kita berkolaborasi dan berpikir sehat. Lebih-lebih berani menyuarakan kebenaran.
Meski penglihatan bahkan nyawa menjadi taruhan, akankah kebenaran bungkam?
Jawabannya dikembalikan pada pembaca sekalian. Menengok penuturan Tan Malaka di atas, dari balik kubur pekik kebenaran justru lebih lantang! Kecuali kita memilih diam.
Salam,
@kraiswan
Referensi:
www.boombastis.com
www.kompas.com
www.suara.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H