Inilah menurut saya, membelot dari pimpinan. Dalam kasus Novel, pembelot dimaksud masih eksis. Bayangkan jika pemerintah kita masih otoriter. Sedikit saja praktiknya kurang satu senti dari perintah, "DOR!". Habis perkara. Kita jelas tidak menghendaki yang demikian.
Sekilas ketidakadilan di Indonesia
Prematur menyebut Indonesia negara maju. Maju dari mana? Indikatornya apa? Siapa yang memberi predikat? Sedangkan penegakan hukum saja masih compang-camping begini.
Ingatan kita rasanya takkan usang pada para korban pejuang kemanusiaan masa lalu. Dilansir dari boombastis.com, berikut sejumlah tokoh dimaksud. Salim Kancil, petani dan aktivis lingkungan di Lumajang, tewas mengenaskan karena menolak lingkungannya dijadikan penambangan pasir. Munir, diracun zat arzenik, karena diduga memiliki sejumlah dokumen terlarang.
Marsinah, aktivias buruh, tewas mengenaskan karena menuntut perbaikan upah buruh. Theys Eluay, aktivis Papua yang dianggap menghalangi aliran pundi-pundi uang di tanah Papua, tewas di tangan anggota militer Indonesia. Jopi Peranginangin, aktivis lingkungan hidup yang vokal perkara perusakan lingkungan, dikeroyok sejumlah orang, ditusuk di punggung, dan tewas. Raibnya Wiji Thukul di tahun 1998 dan banyak kasus lain bisa ditambahkan.
Dalam kasus Novel, beliau tidak sengaja "disiram air keras di badan", yang "kebetulan mengenai muka", yang kemudian menyebabkan cacat permanen karena "salah penanganan". Kita bersyukur kondisi kesehatan Pak Novel sudah membaik. Beliau toh sudah mengampuni para pelaku yang diyakininya bukan dalang sesungguhnya karena JPU tak mampu menjelaskan keterkaitan bukti dengan terdakwa. Hanya, beliau berharap hukum dan keadilan ditegakkan di negeri ini, khususnya untuk mereka yang membongkar kasus korupsi.
Mengkritik lewat Lawak
Siap menjadi pemimpin, siap menerima kritik. Dalam banyak hal, kritik diperlukan untuk perbaikan sekaligus pengingat jika lakunya mulai melenceng.
Di negara demokrasi ini, siapa pun boleh berpendapat. Wajar pula kalau pendapatnya berbau kritik. Memangnya anggota DPR atau orang gede saja yang boleh melayangkan kritik. Rakyat awam, termasuk komedian tidak boleh? Buktinya, Bintang Emon yang mengangkat keresahan masyarakat dengan nada humor terkait putusan jaksa atas kasus Novel, diteror. Bahkan dijegal dengan isu memakai narkoba.
Gawat. Teror dengan bom dan senapan tak mempan, kaum pengerat berdasi ini terus memproduksi teror termasuk lewat media sosial. Melalui ini saya angkat pena pada Bintang Emon atas kreativitasnya mengolah kritik.
Logika Ade Armando