Setelah kantong masing-masing dirasa penuh, kami segera turun dari pohon, beranjak ke permukaan. Puas dan bangga rasanya bisa menjarah dahan-dahan pohon duwet. Hasil "panen" akan kami bagi dengan orang rumah.Â
Menjadi selingan berbuka bagi teman-temanku yang berpuasa, dan camilan untukku. Sekantong kecil pun belum tentu habis dalam sehari. Pasalnya, tidak semua buah yang kami bawa manis, betapa pun Laskar Duwet telah memiliki juru cicip. Ujung-ujungnya, sisanya busuk dimakan kutu buah.
Bukan buahnya yang benar-benar menggairahkan kami, tapi perjalanan dan kisahnya yang takkan pernah dimiliki anak perkotaan
 Sayangnya, cerita itu hanya terjadi di bangku Sekolah Dasar. Di masa sekolah menengah kami punya misi yang berlainan. Memburu duwet bukan lagi sesuatu yang menarik.Â
Atau lidah bocah kami sudah kenyang dengan asam-manis buahnya yang setiap awal puasa telah kami nikmati. Yang jelas dengan bertambahnya usia kami, berganti juga minat kami.
Setidaknya kami pernah punya sejarah masa kecil yang meski singkat dan sederhana namun demikian akrab dan melekat. Buah duwet di bulan puasa telah menyatukan kami di dalam keberagaman.
Bagaimana dengan laskar masa kecilmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H