Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Laskar Duwet di Musim Ramadan

28 April 2020   15:46 Diperbarui: 28 April 2020   15:49 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buah Duwet, gambar: kumparan.com/Tugu Jogja

Kaki beralas kasut burung walet swall*w, karung "kresek" hitam terlipat asal di saku celana; kami siap menjelajah...

Masa kecilku tak pernah mencicipi seperti apa buah anggur, yang dagingnya berair rasanya manis nikmat tiada duanya itu. Justru tetangga jauhnya, duwet (jamblang, Latin: Syzygium cumini), serupa kulitnya, rasa dan kualitasnya jauh bertolak belakang, menjadi buah favoritku saat kecil dengan teman-teman kampung. Buah yang mirip inthil (kotoran kambing) tapi berukuran lima kali lebih besar ini menyajikan tersendiri bagi kami, selain bisa merubah warna lidah menjadi merah keunguan.

Kampung kami dipagari barisan perbukitan rendah Watuagung. Watuagung dari kata watu berarti: batu dan agung: besar; batu yang besar. Ada beberapa batu raksasa di sekitar kampung kami. 

Saking besarnya, satu truk dam beroda sepuluh pun takkan mampu memuatnya. Ukurannya bisa melebihi kendaraan berat eskavator (orang kampung menyebutnya bego).

Di antara perbukitan inilah aku dan teman-temanku, Laskar Duwet kalau aku boleh usulkan namanya, sering menjelajah bukit. Bukan seperti milenial di era medsos yang mendaki puncak untuk motivasi selfie, mengambil angle ekstrem agar instagramable; yang kami buru adalah buah duwet. Rasanya asam dengan sedikit sensasi manis. Buah inilah menjadi pencuci mulut sebelum hadirnya kolak pisang, es sirop atau cendol dawet di waktu berbuka.

Biasanya musim berburu terjadi pada awal bulan Ramadhan, waktunya pohon duwet mengeluarkan buah. Waktu inilah sekolah kami diliburkan beberapa hari, sebelum kembali belajar sambil puasa dan mengikuti tradisi halal bihalal.

Tidak ada yang benar-benar bernilai dari buah ini yang bisa menggantikan harga dari badan yang kepanasan, berkeringat, digigit semut api, belum lagi kehausan.

Ngomong-ngomong tentang haus, di sinilah nilai yang bisa dipetik. Aku satu-satunya anggota geng yang tidak puasa karena nonmuslim. Di samping perbedaan keyakinan, kemampuan akademis, atau anaknya siapa; justru aku paling dibutuhkan rombongan kami.

Bukan karena aku punya penciuman tajam untuk menemukan pohon duwet yang tidak banyak tumbuh di perbukitan. Bukan pula karena aku jago memanjat. Apalagi punya kulit anti gigitan semut.

Aku didapuk menjadi juru cicip untuk menentukan apakah buah duwet yang akan kami "panen" layak dimakan atau tidak, apakah manis atau asam. Idealnya, buah duwet yang masih muda berwarna pink keunguan, sedangkan yang sudah matang berwarna hitam. Namun, warna hitam tidak jaminan rasanya manis. Di sinilah peranku diperlukan.

Betapa bangga diriku. Jabatan yang diberikan bukan karena kehebatanku, tapi karena satu-satunya yang tidak puasa, hehe. Begitu pun ada temanku yang curang. Sudah tahu menjalankan puasa, dia sok-sokan mencicip buah duwet. 

Saat ditegur oleh anggota lain dia berkilah, "Oh iya, aku lupa", sudah begitu dilanjutkan pula menghabiskan sebiji duwet, bukannya dimuntahkan. Namanya juga bocah.

Dari salah satu dahan, kami bisa menyaksikan kampung kami di bawah sana hanya kelihatan jalan aspal seperti sikuit tamiya dan genteng rumah-rumah di balik daun pepohonan. Rupanya rumah kami kecil saja, apalagi yang mendiaminya.

Perjalanan Laskar Duwet menjadi sesuatu yang menarik, jauh sebelum kami mengenal teknologi gadget dan internet. Terdiri dari kawanan satu kelas dengan mengajak beberapa adik atau kakak kelas. 

Tak perlu grup WA atau undangan apalagi kong-kalikong yang rumit dan berbelit. Biasanya sepulang sekolah kami rapat sambil berjalan kaki. Libur puasa, berarti siap menjalankan aksi. Lagipula rumah kami berdekatan. Tinggal panggil nama dari jalan, anggota rombongan siap berkumpul.

Perbekalan kami pun sederhana. Sendal jepit, dan kantong kresek hitam. Tak ada alat komunikasi. Tak perlu senjata tajam. Bahkan botol minum pun kami tak berpikir untuk membawa. Ya iyalah, 'kan pada puasa. Selain memang botol tuppe*ware belum populer saat itu. Botol air mineral? 

Jangankan air mineral, kami biasa minum dari air kendhi (tempat air minum dari tanah liat, teko, poci), atau minum langsung dari air yang dialirkan di tempat pemandian umum. Jajan minuman berasa sirop pun hanya sesekali menyesuaikan uang saku.

Dengan perabot seadanya itu kami bisa saling menjaga diri, memastikan agar selamat kembali ke rumah masing-masing. Memang tidak ada ancaman macan tutul ganas di perbukitan kampung kami. Sesekali monyet mungkin ada, kata orang tua. 

Namun jalan yang kami tempuh terkadang melewati tepi jurang yang memisahkan bukit kami dengan bukit desa tetangga di seberang sana. Kami juga tak kenal takut jatuh, satu pohon kecil dipanjat hingga lima orang, dan si pohon tetap ikhlas.

Terkadang kami sering teriak-teriak sendiri, terheran-heran suara kami seolah ada yang menirukan padahal di bukit sebelah tidak ada orang. Pernah pak guru menjelaskan, aku sendiri tak paham apakah itu gaung atau gema. Bodo amat. 

Kami kan mendaki untuk mencari duwet, bukan mengulas pelajaran. Saking dungunya aku, tak pernah menyadari bahwa teori yang kami bahas di kelas terkait dengan hal-hal di sekitar. Salahkan guru kami, mengajar hanya di dalam kelas. Padahal letak bukit ini bisa ditempuh hanya dalam 15 menit.

Setelah kantong masing-masing dirasa penuh, kami segera turun dari pohon, beranjak ke permukaan. Puas dan bangga rasanya bisa menjarah dahan-dahan pohon duwet. Hasil "panen" akan kami bagi dengan orang rumah. 

Menjadi selingan berbuka bagi teman-temanku yang berpuasa, dan camilan untukku. Sekantong kecil pun belum tentu habis dalam sehari. Pasalnya, tidak semua buah yang kami bawa manis, betapa pun Laskar Duwet telah memiliki juru cicip. Ujung-ujungnya, sisanya busuk dimakan kutu buah.

Bukan buahnya yang benar-benar menggairahkan kami, tapi perjalanan dan kisahnya yang takkan pernah dimiliki anak perkotaan

 Sayangnya, cerita itu hanya terjadi di bangku Sekolah Dasar. Di masa sekolah menengah kami punya misi yang berlainan. Memburu duwet bukan lagi sesuatu yang menarik. 

Atau lidah bocah kami sudah kenyang dengan asam-manis buahnya yang setiap awal puasa telah kami nikmati. Yang jelas dengan bertambahnya usia kami, berganti juga minat kami.

Setidaknya kami pernah punya sejarah masa kecil yang meski singkat dan sederhana namun demikian akrab dan melekat. Buah duwet di bulan puasa telah menyatukan kami di dalam keberagaman.

Bagaimana dengan laskar masa kecilmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun