Betapa bangga diriku. Jabatan yang diberikan bukan karena kehebatanku, tapi karena satu-satunya yang tidak puasa, hehe. Begitu pun ada temanku yang curang. Sudah tahu menjalankan puasa, dia sok-sokan mencicip buah duwet.Â
Saat ditegur oleh anggota lain dia berkilah, "Oh iya, aku lupa", sudah begitu dilanjutkan pula menghabiskan sebiji duwet, bukannya dimuntahkan. Namanya juga bocah.
Dari salah satu dahan, kami bisa menyaksikan kampung kami di bawah sana hanya kelihatan jalan aspal seperti sikuit tamiya dan genteng rumah-rumah di balik daun pepohonan. Rupanya rumah kami kecil saja, apalagi yang mendiaminya.
Perjalanan Laskar Duwet menjadi sesuatu yang menarik, jauh sebelum kami mengenal teknologi gadget dan internet. Terdiri dari kawanan satu kelas dengan mengajak beberapa adik atau kakak kelas.Â
Tak perlu grup WA atau undangan apalagi kong-kalikong yang rumit dan berbelit. Biasanya sepulang sekolah kami rapat sambil berjalan kaki. Libur puasa, berarti siap menjalankan aksi. Lagipula rumah kami berdekatan. Tinggal panggil nama dari jalan, anggota rombongan siap berkumpul.
Perbekalan kami pun sederhana. Sendal jepit, dan kantong kresek hitam. Tak ada alat komunikasi. Tak perlu senjata tajam. Bahkan botol minum pun kami tak berpikir untuk membawa. Ya iyalah, 'kan pada puasa. Selain memang botol tuppe*ware belum populer saat itu. Botol air mineral?Â
Jangankan air mineral, kami biasa minum dari air kendhi (tempat air minum dari tanah liat, teko, poci), atau minum langsung dari air yang dialirkan di tempat pemandian umum. Jajan minuman berasa sirop pun hanya sesekali menyesuaikan uang saku.
Dengan perabot seadanya itu kami bisa saling menjaga diri, memastikan agar selamat kembali ke rumah masing-masing. Memang tidak ada ancaman macan tutul ganas di perbukitan kampung kami. Sesekali monyet mungkin ada, kata orang tua.Â
Namun jalan yang kami tempuh terkadang melewati tepi jurang yang memisahkan bukit kami dengan bukit desa tetangga di seberang sana. Kami juga tak kenal takut jatuh, satu pohon kecil dipanjat hingga lima orang, dan si pohon tetap ikhlas.
Terkadang kami sering teriak-teriak sendiri, terheran-heran suara kami seolah ada yang menirukan padahal di bukit sebelah tidak ada orang. Pernah pak guru menjelaskan, aku sendiri tak paham apakah itu gaung atau gema. Bodo amat.Â
Kami kan mendaki untuk mencari duwet, bukan mengulas pelajaran. Saking dungunya aku, tak pernah menyadari bahwa teori yang kami bahas di kelas terkait dengan hal-hal di sekitar. Salahkan guru kami, mengajar hanya di dalam kelas. Padahal letak bukit ini bisa ditempuh hanya dalam 15 menit.