Yang wajar dibuat aneh, yang mudah dibuat susah.
***
Seorang bapak membahukan karung putih, berjalan santai melewati pengguna trotoar lainnya. Baru satu atau dua barang di dalam. Jika karung ini penuh anak istriku bisa makan, tekadnya. Jika tidak, haruskah dia merampas demi tetap bernapas esok hari?
Tidaklah hatinya setidakberguna itu. Perkakas yang dibuang orang pun justru menjadi pencahariannya. Lagipula, makhluk mana yang sehari pun tidak menghasilkan sampah. Di komplek, gang sempit, di pasar apalagi.Â
Aku masih ingin hidup besok. Dan aku tidak harus mengganggu hidup orang. Aku bodoh, tapi bukan parasit! Aku miskin, tapi bukan fasik!, prinsip hidupnya. Prinsip, bukankah itu yang membedakan orang kaya dengan miskin, pandai dengan dungu? Orang mobilnya mewah, tapi tak menganggap di luar jendela adalah tempat sampah, tak bisa membedakan warna lampu di pengkolan; IP 4 tapi mental korupsi, prinsipnya untung dan kesenangan diri. Tak lebih dari sampah!
Bisa saja mereka, pemanggul karung putih, adalah orang paling bahagia di bumi karena minim tekanan dan tuntutan. Cara bahagia mereka gampang. Asal bisa makan hari ini, masih bernafas besok untuk kembali mencari makan. Cukup.
***
Sebuah motor bebek berkapasitas tak lebih dari 150 cc memuat empat manusia. Bopat, bonceng empat. Bapaknya memegang kemudi, si bungsu di depan, di tengah, dan paling belakang si sulung membonceng samping. Menurut undang-undang lalu lintas---entah nomor berapa tak perlu dihapal karena tak akan keluar dalam ujian nasional---mereka melanggar aturan. Tapi demi alasan ekonomis, masa iya kudu melangsir tiga anak setiap pagi.
Yang praktis saja lah.
Tapi harus mengutamakan keselamatan. Polisi: makanya pak, taat KB, jangan banyak-banyak. Apa kuasa polisi sehingga bisa mengekang kenikmatan membuat anak?
Asal tak ada polisi, tak apalah.