***
Distribusi brosur tak lagi dilakukan dengan melemparkan ke jalanan desa setiap 10 meter. Sering, pulang menjemput ibu aku disuguhi tangan para gadis. Menyodorkan brosur HP termutakhir dengan beragam merek dan promo. Kadang, mas-mas ala kadarnya. Sedang kemana mbak-mbak yang biasanya?
Kulihat penari aerobik berseragam label merek HP, bukan di lapangan tapi emperan toko. Tak peduli lapak-lapak di sekelilingnya menggulung tikar, masih ada yang berani mempekerjakan mereka, tak peduli toko online kian menjamur.Â
Tak mau kalah dengan konser musik bersponsor rokok, mereka mengundang penyanyi karbitan untuk konser di emperan. Dengan gitar bolong dan kadang drum elektrik. Bisa karaoke juga. Untuk menghibur pengguna jalan, mungkin.
***
Seorang ibu memenuhi matic-nya dengan keranjang berisi beragam sayur dan bahan pokok. Sering kulihat penggiatnya lelaki, wajar. Ini ibu-ibu, yang harusnya tidak sekeras itu bekerja. Kartinisasi? Barangkali itulah ketangguhan wanita. Zaman dulu mereka menggendong keranjang penuh sampai melebihi kepala, lebih berat beban yang ditanggung. Kini menggunakan motor, sudah lebih modern lah.
Dagangan di samping, belakang, mengeroyok separuh badan motor ibu itu. Jumlah berlebihan yang akan lebih aman jika diangkut dengan mobil. Tapi jika semua penjaja sayur menggunakan mobil macet dong, susah lewat, tak bisa menyelinap di gang-gang sempit.
***
Tak semua tukang parkir itu seperti kampret. Mereka yang sekali tiup peluit dapat receh lalu ngacir, mengejar roda empat sebelum kabur. Ada yang membantu pesayur menata posisi parkir motor.Â
Kadang menolong membebaskan motor dari standar tengah. Dipegangnya kedua batang spion, dan ditarik. Parah. Jika motor bapakku dibegitukan, dia bisa jatuh sakit karena menyayangkan spion yang bisa patah dibuat tukang parkir.Â
Lalu menandai lokasi mangkal si jukir, besok-besok tak akan sudi memakai teritorinya. Kalau bisa menjauh dari pusat belanja, memarkir motor di daerah sepi, gang sempit yang tak ada peniup peluit.