Mohon tunggu...
Wans Sabang
Wans Sabang Mohon Tunggu... Administrasi - anak hilang

Jejak Literasi: Puisi-puisinya pernah dimuat di Koran Sastra Dinamika (Lampung), Radar Bekasi (Bekasi), Buletin Jejak (Majalah Sastra, Bekasi), Buletin Kanal (Majalah Sastra, Semarang) dan Linikini (Tayangan Macro Ad di Commuterline), Koran Jawa Pos dan Koran Tempo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Jalan, Papa...

20 Februari 2012   11:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana pemakaman di TPU Pondok Rangon saat itu terasa kering.  Bunga Kamboja berserakan dijalan pemakaman, ada yang rontok masih dalam keadaan segar dan ada juga yang sudah layu.  Belum lagi bunga warna-warni dari berbagai jenis menghias diatas gundukan tanah merah yang basah dengan nisan dari papan yang ditulis riwayat penghuninya dengan terburu-buru.

Aku, Kak Wil, dan Bunda mengantarkan Papa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dengan kerudung hitam dan kaca mata hitam menutupi mataku yang sembab karena tangis, begitu juga Bunda. Begitu terpukulnya Bunda karena kepergian Papa terasa mendadak. Cuma Kak Wil saja yang nampak tenang, maklumlah Kak Wil kan laki-laki. Sebagai laki-laki dan kakak tertuaku, Kak Wil harus lebih tegar dan tenang dari kami, karena kelak Kak Wil yang akan menggantikan peran Papa di keluarga kami.

Sementara Mas Er  suamiku, dia lebih disibukkan dengan pengurusan administrasi pemakaman yang ku nilai terlalu birokrasi. Untung saja Mas Er adalah orang yang berpengalaman dengan segala birokrasi di instansi-instansi pemerintah. Melalui koleganya, semua urusan tetek bengek pemakaman Papa bisa di 'handle Mas Ed sendiri. Thanx ya Mas Er, I love you full .. Mas!.

Persis Papaku, Mas Er adalah orang yang supel dan smart ketika menerima para tamu dan kolega Papa ketika di rumah tadi dan dipemakaman. Sementara kami bertiga, mata kami tak pernah lepas dari jasad Papa yang sebentar lagi akan dikebumikan.

Aku sempat melirik mencari-cari Mas Er diantara kerumunan orang-orang. Aku lihat Mas Er  sedang menerima tamu seoarang wanita paruh baya, seumuran Bunda dan dua orang remaja, yang lebih tua adalah laki-laki dan yang lebih muda adalah seorang gadis, kira-kira seumuran denganku. Sedangkan yang laki-laki kira-kira umurnya lebih muda dari Kak Wil, itu hanya perkiraanku saja.

Di depan Mas Er, nampak dari kejauhan Ibu itu sesekali menghapus airmata nya dengan sapu tangan, terlihat begitu sedih. Dan kedua remaja yang ada disampingnya tatapannya hampa, memandangiku, memandangi Bunda dan Kak Wil dan sesekali memandangi prosesi pemakaman Papa.

Aneh?, Mas Er nampak gusar. Sesekali Mas Er membuang pandangannya ke arahku berkali-kali dengan tatapan aneh.

Prosesi pemakaman Papa selesai, jenazah Papa telah dikebumikan. Selamat jalan, Papa... semoga Papa, tenang disana.

Setelah para penggali kubur selesai, menimbun makam Papa. Kyai yang membacakan do'a di depan makam Papa, mulai mengalunkan do'a dan di amini oleh para peziarah.

Selesai do'a dibacakan, beberapa tamu mulai membubarkan diri. Tinggal kami bertiga dan beberapa keluarga dekat kami yang masih membacakan do'a di makam Papa.

Mas Er tergesah menghampiriku, membisiki sesuatu ditelingaku yang membuatku kaget dan hampir pingsan. Aku dan Mas Er mulai menjauh dari makam Papa.

Benar-benar aku tak percaya dengan apa yang dibisikkan Mas Er padaku, Ibu itu dan kedua anaknya adalah istri Papa juga!, dan kedua anak remaja itu adalah anak kandung Papa juga!. Mereka ingin sekali, berdo'a di depan pusara Papa juga.

"Hah!, apa?, Jangan ngaco ya Mas!, Papa gak punya istri selain Bunda, gak mungkin!." Sahutku ngotot pada Mas Er.

"Sabar De, sabar...begitulah maksud ibu itu, aku juga gak percaya, De!." Jelas Mas Er  membela diri. "Kalau kamu gak percaya, ya sudah kita ketempat mereka saja, kita bicarakan lagi dengan hati tenang, kamu gak usah emosi, De!." Sahut suamiku berusaha menenangkanku.

Aku dan Mas Er menghampiri mereka. Kedua remaja tersebut langsung menyodorkan tangannya memperkenalkan diri ketika aku baru tiba di depan mereka. Sementara ibu itu masih terisak-isak tangis dan sesekali me lap airmatanya dengan sapu tangan.

"Maaf  ya mba, kami bertiga mau berdo'a di depan pusara Papa kami juga!, Mami sudah gak kuat lagi, Mami mau bersimpuh di depan makam Papa!." Kata gadis remaja yang seumuran denganku.

"Apa?." Aku kaget.

"Papa Roy, adalah Papa kami juga, mba!, jadi kami sebagai anaknya berhak juga untuk mendo'akan Papa untuk yang terakhir kalinya." Sahut remaja yang laki-laki itu.

Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya melongo memandangi mereka dengan tatapan tak percaya. Mas Er juga bingung, gak tau harus berbuat apa.

Gak mungkin!, gak mungkin Papa punya istri lagi!. Duh, bagaimana dengan Bunda?, Bunda pasti akan terpukul sekali menerima kenyataan ini.  Gak Mungkin!, pokoknya gak mungkin!.  Aku saja sulit untuk menerima berita ini.  Bagaimana dengan Bunda?, bukankah hanya akan menambah kesedihan Bunda saja jika berita ini ku sampaikan pada Bunda?.  Pikiranku berkecamuk, hanya dengan menutupi mulutku dengan sapu tangan putih saja yang masih bisa kulakukan.

"De!." Panggil Mas Er menyadarkanku. "De ... !."

Di atas pusara sana, ku lihat Bunda sesekali melihat ke arah kami.

"Mas, bagaimana ini Mas?." Tanyaku bingung pada suamiku.

"Hmmm... lebih baik kita beritahu Bunda saja, De... ." Saran Mas Er padaku.

"Tapi ... ." Jawabku ragu.

"Tolonglah, Mba... apakah kami sebagai anak kandungnya gak berhak medo'a kan Papa kami juga?. " Sahut gadis itu. "Mami datang dari jauh, hanya untuk bersimpuh di pusara Papa untuk yang terakhir kali, Tolonglah Mami kami, Mba ... ."

Sebuah kesedihan yang tulus dari mereka telah membulatkanku untuk mengambil keputusan. Aku tahu dan sangat yakin kalau Bunda akan marah.

Setelah aku dan Mas Er memberitahu ke Bunda. Bunda marah besar, "Bawa pergi orang itu dari sini!, aku tidak rela melihat mereka di makam Papa!. Cepat!, aku tidak sudi melihatnya!.

Mas Er dan Kak Wil, kakakku berusaha menenangkan Bunda, aku cuma diam saja tertunduk, seolah akulah biang penyebab kemarahan Bunda.

"Cepat!, aku tidak rela!, aku tidak rela!." Teriak Bunda Histeris. Beberapa kerabat dekat dan keluarga tidak tahu apa yang telah terjadi pada Bunda.

Mas Er bergegas, menghampiri Mami dan kedua anaknya. Setelah dijelaskan, akhirnya Mas Er dan mereka tidak terlihat lagi di pemakaman.

Kak Wil, mengantar Mama ke arah parkiran diikuti oleh kerabat dekat dan keluarga. Mereka telah pergi meninggalkan pemakaman.

Aku hanya bisa menangis di pusara Papa. Tak lama kemudian Mas Er, Mami dan kedua anaknya datang menghampiriku. Mereka bersimpuh di pusara Papa. Mami terlihat sangst sedih atas kepergian Papa dan ke dua anaknya, ya anak Papa juga, anak Papa Roy juga, mereka berhak juga mendo'a kan Papanya juga untuk yang terakhir kali.

Ku pandangi mereka berdua, adik dan kakak, apa bedanya mereka dengan aku dan Kak Wil?. Aku punya kenangan terindah dengan Papa, hmm... tentu mereka juga punya kenangan yang indah dengan Papa. Melihat mereka, seperti aku melihat cermin. Papa punya kehidupan lain selain di keluarga kami, apakah itu sebuah kesalahan yang tak terma'afkan?.

Kasihan, Papa!... Bukankah sekarang Papa sedang dalam sebuah "perjalanan" ?, mengapa kita harus menambah  "beban" lagi pada Papa...

hmmm ... selamat jalan, Papa ...

(WS @ GJL, 200212)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun