"Mas, bagaimana ini Mas?." Tanyaku bingung pada suamiku.
"Hmmm... lebih baik kita beritahu Bunda saja, De... ." Saran Mas Er padaku.
"Tapi ... ." Jawabku ragu.
"Tolonglah, Mba... apakah kami sebagai anak kandungnya gak berhak medo'a kan Papa kami juga?. " Sahut gadis itu. "Mami datang dari jauh, hanya untuk bersimpuh di pusara Papa untuk yang terakhir kali, Tolonglah Mami kami, Mba ... ."
Sebuah kesedihan yang tulus dari mereka telah membulatkanku untuk mengambil keputusan. Aku tahu dan sangat yakin kalau Bunda akan marah.
Setelah aku dan Mas Er memberitahu ke Bunda. Bunda marah besar, "Bawa pergi orang itu dari sini!, aku tidak rela melihat mereka di makam Papa!. Cepat!, aku tidak sudi melihatnya!.
Mas Er dan Kak Wil, kakakku berusaha menenangkan Bunda, aku cuma diam saja tertunduk, seolah akulah biang penyebab kemarahan Bunda.
"Cepat!, aku tidak rela!, aku tidak rela!." Teriak Bunda Histeris. Beberapa kerabat dekat dan keluarga tidak tahu apa yang telah terjadi pada Bunda.
Mas Er bergegas, menghampiri Mami dan kedua anaknya. Setelah dijelaskan, akhirnya Mas Er dan mereka tidak terlihat lagi di pemakaman.
Kak Wil, mengantar Mama ke arah parkiran diikuti oleh kerabat dekat dan keluarga. Mereka telah pergi meninggalkan pemakaman.
Aku hanya bisa menangis di pusara Papa. Tak lama kemudian Mas Er, Mami dan kedua anaknya datang menghampiriku. Mereka bersimpuh di pusara Papa. Mami terlihat sangst sedih atas kepergian Papa dan ke dua anaknya, ya anak Papa juga, anak Papa Roy juga, mereka berhak juga mendo'a kan Papanya juga untuk yang terakhir kali.