Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Sebuah Cerpen dari Sahabatku

8 Mei 2016   15:08 Diperbarui: 8 Mei 2016   15:15 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Membaca Tanda

Cerita Eko Pujiono

 

Cerita ini aku sulam setelah empat belas purnama berlalu tanpa kusadari. Namun, angin tenggara yang kering itu telah menamparku, menyadarkanku untuk mengingatmu (lagi). Inilah cerita ingatan itu yang telah usang di sudut-sudut terjauh, namun masih melekat erat dalam satu kata: janji.

Benar, aku tak akan bisa melupakan janjiku kepadamu. Janji, bagiku, seperti mentari yang pergi menjauh setelah menyilaukan mata dan menghangatkan bumi, lalu menghilang ditelan malam, namun akan datang kembali dan menyapa: selamat pagi.

Mudah-mudahan kamu masih ingat dengan suatu pagi yang dingin di suatu tempat yang sama kita singgahi. Meski beberapa jam sebelumnya kita bersama, namun moment pagi itulah yang aku ingat. Aku ingat senyum keceriaan itu meluncur ikhlas memasuki bola mataku dan meracuni otakku. Aku yakin senyuman itu tak ada yang lain di dunia ini. Hanya milikmu. Mungkin, itu adalah senyum yang khusus dianugerahkan kepada Tuhan kepadamu supaya dapat kunikmati di pagi itu.

Aku tidak sedang mabuk kok, apalagi mabuk oleh sebuah senyuman. Tidak, tidak. Hanya saja aku sedang menikmati senyuman yang bagiku merupakan penjelmaan dari pribadi yang optimis. Ya, aku mengagumi senyuman itu, senyuman yang memancar dari pemilik optimisme yang luar biasa.

Baiklah akan kumulai cerita ini. Bukan cerita tentang pemilik senyum optimis itu. Ini cerita adalah cerita ini.

***

Di suatu tempat yang sangat indah, dia menari-nari, bersenandung dan tertawa. Kau pasti akan terlena. Kecantikannya, kelincahannya, keakrabannya, kebaikannya dan kebahagiaannya. Itu semua adalah miliknya yang melenakan siapapun, termasuk kamu. Hanya saja dia tidak bisa menipu diriku. Aku sendiri bisa melihat dengan sangat jelas jalur perairan air mata di pipinya, goresan-goresan kesedihan di antara senyum manis yang mekar, sayup kesendirian di dalam bola matanya yang berbinar. Tahukah kamu di sudut bibirnya terdapat luka yang akan terasa sakit saat mengucapkan satu kata: cinta.

Aku memang tak bisa membayangkan rimbunnya hutan Kalimantan, sungai-sungai yang berliku, jalanan yang panjang dan dirimu. Aku hanya bisa menikmatinya dalam angan-angan dan pikiran liar. 

Karena lautan yang membiru telah memisahkan harapan dan kenyataan sehingga hanya meninggalkan kenangan. Karena rerimbunan pohon, sungai panjang berkelok, dan jalanan tak bertuan tidak meninggalkan apapun selain siluet merah yang ketika dibaca berbunyi kenangan. Karena sudah tidak ada lagi kata-kata selain kenangan.

Ya, kau pasti tidak menyangkan bahwa dia hidup di dunia kenangan. Dia hidup di dunia yang menyatukan kebaikkan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan kenyataan, cinta dan benci; dua rasa berlawanan yang bertumbuh menjadi satu, satu rasa yang sulit dicerna, rasa yang menjalar menjadi satu: kecewa.   

***

Marilah kita lanjutkan cerita ini dengan tepuk tangan yang meriah di antara rerimbunan pepohonan hutan di Pulau Kalimantan. Di sungai panjang berkelok yang membelah rerimbunan itu, yang dilalui satu-dua sampan motor bersuara gaduh, yang sesekali beradu cepat dengan waktu dan kemajuan zaman, yang ditumpangi satu-dua manusia kala pagi dan petang, yang di antara manusia itu terdapat tokoh kita. 

Tokoh kita ini adalah seorang perempuan. Kebaikkannya melebihi kecantikan alamiah yang dimiliki oleh tokoh kita. Umurnya baru saja meninggalkan angka tiga puluh tahun. Ia memimpikan menjadi penulis. Ia menulis tentang Anggrek dan Bulan.

***

Bulan setengah tiang itu mengembara ke dalam segelas rindu. Seperti antara api dan air, panas dan dingin, dan malam dan siang, rasa itu menyumpal mulut supaya tak terkata-kata. Karena kata rindu adalah dusta. 

Kita bukanlah Anggrek dan Bulan yang dapat memadu satu menjadi sekuntum bunga yang mewangi dengan aneka warna yang kontras dan sedap dipandang dengan tatapan ketakjuban. Kita hanyalah setitik warna merah dan kuning. Yang tak akan pernah menyatu menjadi hijau daun yang segar dan membangkitkan gairah hidup abadi yang tak akan pernah mati atau pun layu. Kita ini hanyalah sebatang kara: keseorangan.

Seorang yang melakukan perjalanan singkat yang terasa panjang karena terlalu banyak mampir, berhenti atau bahkan menjejakkan langkah mundur menangisi masa lalu dan kenangan. Seseorang ini adalah makhluk peminum, pemabuk impian, meski pada kenyataannya hidup dan berjalan sambil berkoar: hidup ini hanya sekedar mampir minum.

Minuman adalah obat dahaga jiwa yang kering disinari teriknya masa depan. Sinar itu sangat menyilaukan hingga kita merasa seperti hidup dalam kegelapan. Gelapnya jiwa ini tak akan mampu membedakan mana obat dan mana racun. Entah obat atau racun itu senantiasa ditenggak untuk melepas dahaga badan. Badan dan jiwa pun enggan menyatu. Kita bukanlah Anggrek dan Bulan. Bahkan Anggrek atau pun Bulan sama-sama tak memiliki badan-jiwa yang utuh, karena badan itu dan jiwa itu terpisah.

Jadi, sangat sulit untuk menyatukan Badan Anggrek dengan Jiwa Bulan; sama sulitnya menyatukan Jiwa Anggrek dengan Badan Bulan. Bahkan, jiwa dan badan Anggrek pun enggan menyatu; bahkan jiwa dan badan Bulan enggan menyatu. Apa yang dapat kau prediksikan dari kemungkinan-kemungkinan ini. Justru kemungkinan yang paling mungkin adalah tidak mungkin. Untuk merayakannya, mari mengibarkan bendera setengah tiang.  

***

Mozaik, iya, benar mozaik. Kamu sedang kuajak mengumpulkan mozaik-mozaik kecil yang terpisah jauh dari masa waktu yang terlampau sangat dekat sehingga tidak menyadari bahwa garis hidup setiap manusia sangat dekat dengan garis di telapak tangan masing-masing. Namun, sayang sekali, kita tidak bisa menyerahkan garis hidup kepada Sang Dukun yang tak mampu meramalkan nasibnya sendiri meski dia menjual ramalan hidup kepada banyak orang lain. 

Garis tangan setiap manusia ada di dalam genggamannya masing-masing untuk segera diwujudkan, bukan untuk diramalkan, bukan untuk diangankan, bukan untuk dibicarakan, bukan untuk ditangisi, bukan untuk ditertawakan bersama-sama. Dan, cerita ini harus berakhir karena tak ada apapun yang bermakna selain makna dirimu. Hanya ini yang bisa aku tulis. Semoga senyuman itu tetap menjadi optimisme. 

 

Semarang, 1 Mei 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun