Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Sebuah Cerpen dari Sahabatku

8 Mei 2016   15:08 Diperbarui: 8 Mei 2016   15:15 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena lautan yang membiru telah memisahkan harapan dan kenyataan sehingga hanya meninggalkan kenangan. Karena rerimbunan pohon, sungai panjang berkelok, dan jalanan tak bertuan tidak meninggalkan apapun selain siluet merah yang ketika dibaca berbunyi kenangan. Karena sudah tidak ada lagi kata-kata selain kenangan.

Ya, kau pasti tidak menyangkan bahwa dia hidup di dunia kenangan. Dia hidup di dunia yang menyatukan kebaikkan dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan kenyataan, cinta dan benci; dua rasa berlawanan yang bertumbuh menjadi satu, satu rasa yang sulit dicerna, rasa yang menjalar menjadi satu: kecewa.   

***

Marilah kita lanjutkan cerita ini dengan tepuk tangan yang meriah di antara rerimbunan pepohonan hutan di Pulau Kalimantan. Di sungai panjang berkelok yang membelah rerimbunan itu, yang dilalui satu-dua sampan motor bersuara gaduh, yang sesekali beradu cepat dengan waktu dan kemajuan zaman, yang ditumpangi satu-dua manusia kala pagi dan petang, yang di antara manusia itu terdapat tokoh kita. 

Tokoh kita ini adalah seorang perempuan. Kebaikkannya melebihi kecantikan alamiah yang dimiliki oleh tokoh kita. Umurnya baru saja meninggalkan angka tiga puluh tahun. Ia memimpikan menjadi penulis. Ia menulis tentang Anggrek dan Bulan.

***

Bulan setengah tiang itu mengembara ke dalam segelas rindu. Seperti antara api dan air, panas dan dingin, dan malam dan siang, rasa itu menyumpal mulut supaya tak terkata-kata. Karena kata rindu adalah dusta. 

Kita bukanlah Anggrek dan Bulan yang dapat memadu satu menjadi sekuntum bunga yang mewangi dengan aneka warna yang kontras dan sedap dipandang dengan tatapan ketakjuban. Kita hanyalah setitik warna merah dan kuning. Yang tak akan pernah menyatu menjadi hijau daun yang segar dan membangkitkan gairah hidup abadi yang tak akan pernah mati atau pun layu. Kita ini hanyalah sebatang kara: keseorangan.

Seorang yang melakukan perjalanan singkat yang terasa panjang karena terlalu banyak mampir, berhenti atau bahkan menjejakkan langkah mundur menangisi masa lalu dan kenangan. Seseorang ini adalah makhluk peminum, pemabuk impian, meski pada kenyataannya hidup dan berjalan sambil berkoar: hidup ini hanya sekedar mampir minum.

Minuman adalah obat dahaga jiwa yang kering disinari teriknya masa depan. Sinar itu sangat menyilaukan hingga kita merasa seperti hidup dalam kegelapan. Gelapnya jiwa ini tak akan mampu membedakan mana obat dan mana racun. Entah obat atau racun itu senantiasa ditenggak untuk melepas dahaga badan. Badan dan jiwa pun enggan menyatu. Kita bukanlah Anggrek dan Bulan. Bahkan Anggrek atau pun Bulan sama-sama tak memiliki badan-jiwa yang utuh, karena badan itu dan jiwa itu terpisah.

Jadi, sangat sulit untuk menyatukan Badan Anggrek dengan Jiwa Bulan; sama sulitnya menyatukan Jiwa Anggrek dengan Badan Bulan. Bahkan, jiwa dan badan Anggrek pun enggan menyatu; bahkan jiwa dan badan Bulan enggan menyatu. Apa yang dapat kau prediksikan dari kemungkinan-kemungkinan ini. Justru kemungkinan yang paling mungkin adalah tidak mungkin. Untuk merayakannya, mari mengibarkan bendera setengah tiang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun