Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Tidak Bisa

30 Maret 2021   20:02 Diperbarui: 30 Maret 2021   20:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Which one makes you hurt more

when you hold someone but he left

Or when you feel warmer with the part of someone, but he is not yours

Ariella menegadah, diatas sofabed-nya dia merebahkan tubuh. Langit-langit kamarnya yang pucat dengan lampu 11 watt yang meredup di salah satu sisinya, Ariella tidak ingin menangis. Tapi panas tubuh membuat airmata bekunya meleleh. Pandangannya meremang, saya ingin mati saja, begitu terus kata-kata itu berulang di kepalanya. Keputusasaan seorang wanita lebih letal daripada pengetahuan tentang kematian itu sendiri. Ariella tersedu, kini dia menunduk, menyerah pada beratnya beban airmata yang harus dia tanggung. Berlembar-lembar tissue kemudian menghiasi sisi-sisi sofabed-nya. Kesedihan yang memenjarakannya terlalu lama, tidak seorangpun yang menyadari bahwa dirinya sedang membutuhkan pertolongan.

Ariella, seorang fotografer freelance di beberapa majalah serta studio fotografi, apa yang dia lakukan tidak jauh dari menangkap momen instimewa untuk disajikan pada semua mata yang menatapnya dengan puas. Dia tidak punya waktu untuk membuat semuanya jadi buruk dengan kisahnya. Walaupun sebenarnya dia ingin membagi kesedihannya dengan orang lain, tetapi Ariella memilih untuk bersenang-senang bersama mereka. Tidak ada yang indah dari kesedihan.

“Jangan mengatakan hal yang terlalu jauh…” Ariella melemparkan pandangannya keluar kaca mobil, lampu-lampu jalan bergiliran menyinari wajahnya yang tiba-tiba berubah sendu.

“Biar aku mengulangnya, jangan menyimpulkan apapun tentang hubungan kita.” Sekarang Ariella mengalihkan pandangannya dengan tegar ke arah pria yang sekarang sedang menatap jalanan, sementara malam semakin larut dan mereka seperti tidak ingin berpisah.

“Baiklah kalau itu kemauan kamu…”

Dia menurut, tanpa perlawanan. Hal itu membuat hatinya bertambah hancur.

“Bagaimana kita bisa menemukan rute terjauh dari sini?”

Ariella ingin tertawa mendengarnya, tetapi dia tahan. Dia tahu, mereka sama-sama tahu, dan itu tidak perlu dibicarakan.

***

Erika membuka kulkas dan memasukkan semua belanjaan ke dalamnya. Dia nyaris tidak menemukan apapun di dalam kulkas, sementara pemiliknya seminggu ini kerjaannya hanya mengurung diri di kamar, minum soda dan tidur. Dia tidak keluar rumah, dia tidak membersihkan kamar, tidak melakukan apapun.

“Kupikir tadinya kamu mati, Riel.” Erika mengatakan dengan lantang sambil terbahak-bahak. Dia berharap sahabatnya mau berterus-terang tentang apa yang sebenarnya terjadi. Erika tahu benar bahwa topik pembicaraan yang tidak disukai Ariella adalah topik tentang dirinya.

“Kamu mau kopi?” Erika tidak peduli dia mau atau tidak, dia tetap menyalakan mesin kopi.

Ariella bergeming, dia mencium aroma kesukaannya, kopi. Dia memaksa tubuhnya bangkit dan melihat Erika tengah sibuk menyiapkan kopi dalam dua buah mug bergambar kartun kesukaannya.

“Kamu sudah lama disini?” tanyanya, dia hanya ingin memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi melihat Erika menyiapkan kopi untuknya.

“Begitulah…” jawab Erika singkat, dia melangkah bermaksud menyodorkan kopi untuk Ariella saat terdengar bunyi kraakk yang cukup mengejutkan di bawah kakinya.

“Woops!” Erika terkejut dan langsung merasa bersalah karena menginjak sebuah frame sampai pecah.

“Tidak usah dibersihkan!” seru Ariella, tapi nampaknya terlambat. Erika terhenti dan meletakkan dua buah mug di tangannya ke atas meja hanya untuk memahami apa yang baru saja dia injak.

“Ini foto siapa, Riel?” pertanyaan Erika mengambang, seperti tak sepenuhnya memerlukan jawaban.

Ariella menelan ludah, dia telah bodoh membingkai kenangan bersamanya hanya untuk melempar beberapa meter dari hadapannya dan sekarang ditemukan oleh Erika, sahabatnya.

“Yah, kamu mengenalnya…sangat mengenalnya…” Ariella menyerah pada situasinya sekarang. Dia berharap kopi itu tidak segera dingin, dia ingin menyesapnya sekarang juga.

“Ini bukan foto Pak Seno, kan? Editor kita?!” Erika bingung bercampur kesal, tetapi dia tidak ingin mempercayai ini. Dia ingin Ariella berbohong padanya sekarang.

Ariella mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangannya. Arimatanya sudah mengering.

“Apa dia alasan kamu selama ini mengurung diri seperti sekarang?”

Hening.

“Tolong jangan paksa saya bicara…” Ariella akhirnya bicara, matanya berkaca-kaca menatap Erika.

Erika tidak sampai hati melihat sahabatnya berwajah seperti itu, dia hampiri Ariella yang masih terduduk di sofanya dan memeluknya erat.

“Kamu tahu kan, hal terburuk apa yang akan terjadi padamu kalau sampai ada yang tahu tentang ini?”

Ariella menangis, “Aku menyerah, Rik. Apapun yang akan terjadi, aku siap. Aku tahu situasi diantara kami sama sekali tidak menguntungkan. Aku hanya mencintainya, tanpa berharap apapun.”

“Berapa lama? Berapa lama kamu merahasiakan ini dariku?”

“Entahlah, dua tahun…mungkin.”

Erika menatap wajah sahabatnya dengan iba dan sesal. “Kenapa harus Pak Seno? Kamu nggak kasihan sama keluarganya? Kamu nggak mikir bagaimana perasaan istrinya kalau sampai dia tahu…”

Sampai pada titik ini, Ariella merasa dibenturkan pada realita yang ingin dia hindari. Ariella sepenuhnya menyadari bahkan semenjak cinta itu mulai bersemi antara dirinya dengan Seno, Sang Editor. Dia sudah berada pada dilema itu sangat lama dan tidak ingin beranjak pergi karena cinta itu indah, dan dia menginginkannya. Sangat menginginkan cinta, meskipun hanya bisa melihatnya, hanya bisa menyentuhnya, tanpa pernah berusaha untuk memilikinya. Dia sadar tidak ingin merebut apapun dari siapapun, dia tidak ingin merusak apapun yang telah dibangun dengan susah payah. Dia hanya ingin mencintai, dan tepat seperti dugaannya, tidak ada yang berusaha memahami situasinya, bahkan sahabatnya sekalipun saat ini tengah menyudutkan dirinya.

“Sebaiknya kamu pulang sekarang.” Ariella mendorong tubuh Erika perlahan.

“Dan sebaiknya kamu diam, karena aku langsung tahu begitu berita ini tersebar, bahwa kamu pelakunya.”

Erika terhenyak. “Baiklah, aku pergi. Jangan lupa kopimu.”

Dan kopi itu dia lupakan, tidak lagi cemas akan menjadi dingin.

***

Ariella mengemasi barang-barangnya, dia mendorong semuanya masuk ke dalam ransel usangnya. Dia harus bergegas pergi sebelum semua orang memergokinya melakukan ini sambil menangis.

“Apa ini?” Seno terkejut menerima surat pengunduran diri dari Ariella sepagi itu. Dan yang menyampaikan bukan dia sendiri, melainkan Erika.

“Sebaiknya Bapak menerima permintaan Ariella…”

“Dimana dia sekarang? Kenapa bukan dia sendiri yang menyampaikan ini?!” ada kegeraman dan emosi tersembunyi di lubuk hati Seno. Dia tahu hari ini pasti akan datang.

Ariella juga tidak mengerti, dia bimbang saat hendak menyerahkan surat pengunduran diri itu. Dia takut tidak bisa menghadapi Seno, dia takut menghadap kenyataan bahwa dia tidak bisa lagi menemui Seno seperti yang biasa dia lakukan.

“Hai, sayang…!” gambar Seno dalam video call nampak mesra menatapnya. Waktu itu pukul empat sore di Jepang dan sudah malam hari di tempat Ariella mengambil beberapa foto untuk tema nightscape.

“Lihat nih, bunga sakura buat kamu…”

Ariella tertawa melihat kelakuan Seno yang sudah memiliki tiga anak-anak yang tampan itu nampak seperti remaja belasan tahun di hadapannya. Lantas percakapan diantara mereka adalah percakapan antara dua anak manusia yang saling melepas kerinduan, karena rindu diantara mereka telah mencegah kehidupan yang monoton membunuh semangat hidup yang tersisa.

I always love this conversation…

Like I love you, too” Ariella mengecup layar smartphone, seolah-olah dia sedang mengecup kening Seno.

“Sudah ya, anak-anak sama mamanya selesai belanja tuh! Byee…

Byee…” Ariella menatap layar dengan beku. Dia sadar, dia tidak akan pernah bisa menggantikan setiap orang yang sangat berarti bagi Seno dan sangat membutuhkan kehadiran sosok ayah diantara mereka.

Cinta yang tidak bisa…

Seno berdiri di samping jendela kantornya yang luas, dia sanggup memandang apapun dari situ, mulai dari atap-atap gedung, rumah-rumah, dan sebuah halte. Seno menatap sosok yang sangat dikenalnya itu sedang termenung di halte sendirian, sementara mendung menggantung, sebentar lagi hujan. Seno meraih ponsel di mejanya.

“Batalkan pesanan ojek online kamu, biar aku yang antar…please, jangan menolak tawaranku.”

Tak lama berselang setelah mendengar jawaban di seberang sana, Seno bergegas turun ke tempat parkir.

Erika melihat bosnya berlari ke tempat parkir dan hanya bisa menghela nafas panjang. Erika tidak mengerti bagaimana situasi mereka begitu rumit. Cinta memang rumit, Erika belajar untuk memahami perasaan Ariella bahwa dia tidak bermaksud apapun terhadap Seno. Dia hanya mencintai seseorang di saat yang tidak tepat.

“Kamu tak perlu melakukan hal sejauh ini.” Desah Seno kecewa, 

“Kapan kamu berangkat ke Yokohama?”

“Kamu berhentilah memperhatikanku. Aku tidak perlu lagi melaporkan semua rutinitasku padamu, kamu bukan lagi atasanku sejak hari ini!” 

Ariella tidak sanggup lagi membendung airmatanya, dia menutup wajah dengan salah satu tangannya. Tak lama kemudian, dia merasakan tangan Seno mencari-cari tangannya. Dia menggenggam tangan itu dengan erat, seperti tahu bahwa itu adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuknya. Ariella membalas genggaman itu tak kalah erat, dia letakkan tangan yang hangat itu di pipinya yang basah oleh airmata.

“Jangan pergi…” bisiknya lirih, Seno nyaris tak mendengar apa yang dikatakan Ariella, tetapi dirinya pun ingin mengatakan sesuatu kepada Ariella.

“Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu, kita bisa pergi ke tempat yang sedikit jauh, setidaknya sampai besok pagi. Aku antar kamu pulang.”

Hujan semakin lama, semakin deras. Hujan mengantar  perjalanan dua sejoli itu entah kemana, hanya mereka yang tahu. Ariella tidak mengharap apapun dari Seno, dia senang Seno mau menemaninya sampai matahari terbit besok menyadarkan mereka untuk berpisah.

Atau mereka akan meminta satu atau dua malam lagi untuk tetap bersama, setidaknya sampai mereka siap untuk berpisah. Siap memulai kembali lembaran yang lain, meskipun lembaran ini tidak sedetikpun ingin mereka lupakan. Lembaran cinta yang tidak bisa ini, begitu berharga…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun