“Entahlah, dua tahun…mungkin.”
Erika menatap wajah sahabatnya dengan iba dan sesal. “Kenapa harus Pak Seno? Kamu nggak kasihan sama keluarganya? Kamu nggak mikir bagaimana perasaan istrinya kalau sampai dia tahu…”
Sampai pada titik ini, Ariella merasa dibenturkan pada realita yang ingin dia hindari. Ariella sepenuhnya menyadari bahkan semenjak cinta itu mulai bersemi antara dirinya dengan Seno, Sang Editor. Dia sudah berada pada dilema itu sangat lama dan tidak ingin beranjak pergi karena cinta itu indah, dan dia menginginkannya. Sangat menginginkan cinta, meskipun hanya bisa melihatnya, hanya bisa menyentuhnya, tanpa pernah berusaha untuk memilikinya. Dia sadar tidak ingin merebut apapun dari siapapun, dia tidak ingin merusak apapun yang telah dibangun dengan susah payah. Dia hanya ingin mencintai, dan tepat seperti dugaannya, tidak ada yang berusaha memahami situasinya, bahkan sahabatnya sekalipun saat ini tengah menyudutkan dirinya.
“Sebaiknya kamu pulang sekarang.” Ariella mendorong tubuh Erika perlahan.
“Dan sebaiknya kamu diam, karena aku langsung tahu begitu berita ini tersebar, bahwa kamu pelakunya.”
Erika terhenyak. “Baiklah, aku pergi. Jangan lupa kopimu.”
Dan kopi itu dia lupakan, tidak lagi cemas akan menjadi dingin.
***
Ariella mengemasi barang-barangnya, dia mendorong semuanya masuk ke dalam ransel usangnya. Dia harus bergegas pergi sebelum semua orang memergokinya melakukan ini sambil menangis.
“Apa ini?” Seno terkejut menerima surat pengunduran diri dari Ariella sepagi itu. Dan yang menyampaikan bukan dia sendiri, melainkan Erika.
“Sebaiknya Bapak menerima permintaan Ariella…”