Ariella ingin tertawa mendengarnya, tetapi dia tahan. Dia tahu, mereka sama-sama tahu, dan itu tidak perlu dibicarakan.
***
Erika membuka kulkas dan memasukkan semua belanjaan ke dalamnya. Dia nyaris tidak menemukan apapun di dalam kulkas, sementara pemiliknya seminggu ini kerjaannya hanya mengurung diri di kamar, minum soda dan tidur. Dia tidak keluar rumah, dia tidak membersihkan kamar, tidak melakukan apapun.
“Kupikir tadinya kamu mati, Riel.” Erika mengatakan dengan lantang sambil terbahak-bahak. Dia berharap sahabatnya mau berterus-terang tentang apa yang sebenarnya terjadi. Erika tahu benar bahwa topik pembicaraan yang tidak disukai Ariella adalah topik tentang dirinya.
“Kamu mau kopi?” Erika tidak peduli dia mau atau tidak, dia tetap menyalakan mesin kopi.
Ariella bergeming, dia mencium aroma kesukaannya, kopi. Dia memaksa tubuhnya bangkit dan melihat Erika tengah sibuk menyiapkan kopi dalam dua buah mug bergambar kartun kesukaannya.
“Kamu sudah lama disini?” tanyanya, dia hanya ingin memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi melihat Erika menyiapkan kopi untuknya.
“Begitulah…” jawab Erika singkat, dia melangkah bermaksud menyodorkan kopi untuk Ariella saat terdengar bunyi kraakk yang cukup mengejutkan di bawah kakinya.
“Woops!” Erika terkejut dan langsung merasa bersalah karena menginjak sebuah frame sampai pecah.
“Tidak usah dibersihkan!” seru Ariella, tapi nampaknya terlambat. Erika terhenti dan meletakkan dua buah mug di tangannya ke atas meja hanya untuk memahami apa yang baru saja dia injak.
“Ini foto siapa, Riel?” pertanyaan Erika mengambang, seperti tak sepenuhnya memerlukan jawaban.