Pukul tiga sore di sebuah halte depan kampus aku menunggu seseorang, empat puluh lima menit berlalu, lalu lalang kendaraan berhenti di depan menjemput penumpang. Aku masih menunggu seseorang sebelum matahari terbenam.
Di saku handphoneku bergetar "kamu di mana?" suaranya lirih terdengar
"Aku masih di halte," suaraku pelan sedikit ditahan
Tanpa jawaban selanjutnya telepon langsung ditutup. Aku duduk di samping satu per satu orang yang mulai meninggalkan halte hanya menyisakan aku seorang di halte itu.
Aku mengerti, kuambil sebuah catatan kecil dari dalam tasku, catatan bersampul putih tak lagi bersih, coretan tertera dengan debu jalan menempel.
Menyibukkan diri dengan membaca kembali jadwal aktivitas, terlepas dari aktivitas penting atau tidak penting selalu aku catat, apalagi kalau punya janji dengan seseorang. Prinsip tidak mau mengecewakan dan selalu tepat waktu aku pegang.
Begitu juga dengan sore ini, cahaya jingga mulai menyapa penduduk bumi, menemani aku dalam kesendirian. Sesekali aku buka catatan itu tertulis sebuah puisi.
Apa kabar senja
Warna jinggamu sungguh mempesona
Ratusan pasang mata memperhatikan kala engkau menyapa
Engkau sungguh indah,Â
Kemudian engkau pergi tergerus malam
Di esok hari kamu Kembali muncul
Datang dan pergi tanpa memikirkan orang bahagia memandangmu
Hanya mendung menjadi lawan, menutupi keindahanmu.
Kegiatan menulis catatan dan puisi ini mulai kusukai beberapa tahun lalu, saat seorang perempuan yang memiliki keindahan bak senja, selalu hadir di depan mata. Kejadian pertama berjumpa di halte ini menyisakan kesan yang dalam.
Katanya catatan dan puisi akan membuat kamu selalu nyaman dalam kesendirian. Tuangkan keluh kesah dalam buku kecil dan ungkapkan keindahan alam melalui kata kata puisi.
Aku tenggelam dalam puisi hingga tidak menyadari senja akan segera pergi. Melihat jarum jam, di pergelangan tangan sudah lebih dari satu jam aku menunggu. Akhirnya aku putuskan berjalan meninggalkan halte.
"Randi, ran, randi," berteriak memanggilku
Dia berlari mengejar sambil terus berteriak "Ran randi randiiii....."
Mendengar ada yang memanggil namaku aku menengok ternyata Rini yang memanggil.
Nafasnya cepat di memegang pundak "maaf aku harus memperlakukanmu seperti ini lagi, menutup telepon dengan cara yang tidak menyenangkan tanpa ada jawaban selanjutnya, membuat kamu menunggu sendirian." Dia segera meminta maaf atas keterlambatannya.
Di wajahnya tergaris penyesalan, padahal hal seperti itu sudah sering terjadi. aku selalu memaafkan dan memakluminya, namun dia tetap saja melakukannya sungguh perempuan selalu ingin benar sendiri.
Aku hanya tersenyum, kemudian ku pegang tangan menegakkan badan dia yang menunduk, mengusap lembut bahunya "Sudahlah, lagian kita sudah ketemu," ucapku menenangkan perempuan yang memiliki mata indah itu.
"Mendingan kita cari tempat duduk biar kamu tenang," ajakku sambil berjalan memegang tangan mencari kedai kopi cepat saji.
Azan magrib terdengar berkumandang, aku mengajaknya berjalan ke kedai kopi cepat saji yang tidak jauh dari kampus, lagian aku dan Rini biasa pulang malam, orangtua Rini sudah mengetahui kita berdua memiliki kesibukan di organisasi.
"Aku minta maaf banget ya membuat kamu menunggu sampai petang begini." Selama berjalan dia selalu minta maaf seakan akan sudah melakukan kesalahan fatal.
Aku menenangkan, "Sudah nanti kita ngobrol sambal menikmati kopi biar kamu lebih tenang."
Kita berdua sampai di kedai kopi itu, tempatnya sederhana lampu bergantungan di atas langit-langit, kursi duduk terbuat dari rangkaian bekas wadah buah. Dasar meja dari ban di atas terletak papan penuh dengan coretan tangan sebagai meja.
Foto dinding dihiasi dengan kata motivasi, inspirasi, dan catatan seorang sastrawan, nuansa itu terbangun atas dasar kecintaan sang pemilik kedai terhadap karya sastra Indonesia.
Pelayan dengan baju hitam datang mengantarkan menu, tertulis daftar makanan dan minuman, kita berdua memesan, aku tawarkan pada Rini, tapi wajahnya malu, mungkin masih bersalah dia tidak berani memesan.
Aku pesankan kesukaan dia jus kiwi dan aku pesan kopi lampung. Aroma kopi pulau Sumatra itu selalu memberikan ketenangan dalam pikiran. Rasa kopi tanah seberang membuat lidah selalu ingin menikmati lagi dan lagi, kalau sudah duduk rasanya berat untuk meninggalkan kedai ini.
Untuk makanan "kamu capek bangetkan tadi lari lari ngejar aku dan laper?" Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku. Pelayan itu masih berdiri, aku menyodorkan menu makanan pada Rini, "silakan kamu mau pesen yang mana?" dia masih terdiam, tidak berani menjawab.
"Iya sudah biar aku yang memesan," aku tulis pesanan, mie goreng dadar daging kambing. Makanan yang selalu membuat dia tenang.
Dia masih terdiam menunggu aku membuka obrolan, seperti biasa aku sama sekali tidak marah dan merajuk saat dia telat. Aku paham posisi dan kesibukannya. Aku juga paham posisiku bagaimana dan siapa terhadap dia.
"Bagaimana perkuliahan dan organisasi hari ini?" tanyaku
"Jangan diforsir terus terusan kasian pikiran dan badan, kalau kamu bukan perempuan ngga jadi masalah, apalagi nanti kita akan naik gunung."
"Iya maaf aku telat, ketemu kamu ingin membicarakan hal ini," jawabnya
Aku tahu, menjadi seorang perempuan yang menakhodai sebuah organisasi mahasiswa bukan hal yang mudah. Tugas perkuliahan, tuntutan pengurus dan anggota, apalagi hubungan kedua orang tuanya sedang tidak baik baik saja, belum kalau seniornya menuntun ini dan itu. Sungguh beban yang memang seharusnya tidak dia rasakan oleh perempuan seperti Rini.
Itulah sebabnya aku berusaha tidak pernah mengeluh, kepadanya meski menunggu berjam-jam. aku selalu berusaha menjaga emosi, menenangkan Rini, dan selalu menjadi tempat bercerita. Tidak apa bagiku itu semua aku lakukan semata agar Rini mendapatkan tempat bercerita yang nyaman.
"Kamu memang lelaki yang paling mengerti aku," ucapnya
"Karena aku ingin selalu berada di sampingmu," bibirku bergetar mengeluarkan kalimat itu.
Dua hari yang lalu saat ibu dan ayah Rini berantem hebat sampai tidak saling bicara keduanya, Suasana rumah berantakan. Ayahnya pergi bekerja tanpa memberikan uang untuk ibunya, masalah itu membuatnya tidak betah di rumah.Â
Dia mengajak aku naik gunung, melihat keindahan alam, lautan awan membentang udara sejuk tanpa kebisingan manusia tidak berguna. Dialam semuanya nyata tidak ada yang berpura-pura.
Sedotan menyentuh bibirnya, hijau jus kiwi perlahan menyegarkan tenggorokan yang Lelah berteriak, "iya aku sudah ngajak temen, nanti kita berangkat berenam, tiga laki-laki dan tiga perempuan."
"Teman kamu berempat semuanya pacaran." Aku penasaran bertanya.
"Iya mereka semuanya berpacaran".
"Khemmm. Khemmm." Tersedak
Gemetar mendengar apa yang dia utarakan, teman-temanya akan berangkat dengan pacarnya. Aku bingung jikalau memaksakan hatiku belum kuat.
Membayangkan aku membawa ransel berisi tenda, air dan makanan persediaan, berjalan dengan sepatu gunung, membawa topi melewati setiap hutan, bermalam di dalam tenda, membuat makanan. Sungguh mental aku belum sejauh itu, meski aku memiliki rasa tapi rasanya mustahil satu tenda sama Rini.
"Kenapa?" dia menyodorkan gelas, "ini minum, hati-hati kalau makan."
"Rini apa kamu yakin, nanti kita bakal berangkat berenam dengan mereka, dia berpasang-pasangan, lah kamu sama siapa?" tanyaku sedikt tersenyum mencairkan suasana.
Bibirnya terlihat manis pipinya sedikit merah "iya aku sama kamu".
Jantungku berdetak kencang, keramaian kedai itu tidak terdengar hanya keheningan dalam hati aku rasakan, diam membeku, menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang Nampak di depan mata. Jawaban itu, aku bingung menerjemahkan, sebagai seorang lelaki yang memang memiliki rasanya tidak biasa mendengar pernyataan itu.
Tidak semua lelaki memiliki hati yang kuat, ada kalanya laki-laki juga memiliki perasaan yang rapuh, hanya bedanya bisa disembunyikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H