Mohon tunggu...
Wamin Apriansyah
Wamin Apriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Hadapi, Hayati Nikmati

Spesialist Copywritting and Sosial Media, Digital Marketing,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Aku, Dia, dan Halte Itu

17 September 2023   22:36 Diperbarui: 24 September 2023   21:36 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nafasnya cepat di memegang pundak "maaf aku harus memperlakukanmu seperti ini lagi, menutup telepon dengan cara yang tidak menyenangkan tanpa ada jawaban selanjutnya, membuat kamu menunggu sendirian." Dia segera meminta maaf atas keterlambatannya.

Di wajahnya tergaris penyesalan, padahal hal seperti itu sudah sering terjadi. aku selalu memaafkan dan memakluminya, namun dia tetap saja melakukannya sungguh perempuan selalu ingin benar sendiri.

Aku hanya tersenyum, kemudian ku pegang tangan menegakkan badan dia yang menunduk, mengusap lembut bahunya "Sudahlah, lagian kita sudah ketemu," ucapku menenangkan perempuan yang memiliki mata indah itu.

"Mendingan kita cari tempat duduk biar kamu tenang," ajakku sambil berjalan memegang tangan mencari kedai kopi cepat saji.

Azan magrib terdengar berkumandang, aku mengajaknya berjalan ke kedai kopi cepat saji yang tidak jauh dari kampus, lagian aku dan Rini biasa pulang malam, orangtua Rini sudah mengetahui kita berdua memiliki kesibukan di organisasi.

"Aku minta maaf banget ya membuat kamu menunggu sampai petang begini." Selama berjalan dia selalu minta maaf seakan akan sudah melakukan kesalahan fatal.

Aku menenangkan, "Sudah nanti kita ngobrol sambal menikmati kopi biar kamu lebih tenang."

Kita berdua sampai di kedai kopi itu, tempatnya sederhana lampu bergantungan di atas langit-langit, kursi duduk terbuat dari rangkaian bekas wadah buah. Dasar meja dari ban di atas terletak papan penuh dengan coretan tangan sebagai meja.

Foto dinding dihiasi dengan kata motivasi, inspirasi, dan catatan seorang sastrawan, nuansa itu terbangun atas dasar kecintaan sang pemilik kedai terhadap karya sastra Indonesia.

Pelayan dengan baju hitam datang mengantarkan menu, tertulis daftar makanan dan minuman, kita berdua memesan, aku tawarkan pada Rini, tapi wajahnya malu, mungkin masih bersalah dia tidak berani memesan.

Aku pesankan kesukaan dia jus kiwi dan aku pesan kopi lampung. Aroma kopi pulau Sumatra itu selalu memberikan ketenangan dalam pikiran. Rasa kopi tanah seberang membuat lidah selalu ingin menikmati lagi dan lagi, kalau sudah duduk rasanya berat untuk meninggalkan kedai ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun